بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini kami sebutkan pembahasan tentang adab bagi orang yang sakit, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Adab bagi Orang yang Sakit

1. Seorang yang sakit hendaknya bersabar, tidak kesal dan tidak menampakkan sikap keluh kesah, meskipun tidak mengapa bagi orang yang sakit ketika ditanya, “Bagaimana kondisimu?” Ia menjawab, “Saya sedang sakit” atau “Perih rasanya” dan hendaknya ia menambahkan, “Wal Hamdulillah ‘alaa kulli haal," (artinya segala puji bagi Allah bagaimana pun keadaannya).

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ الْأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ» ، وَإِذَا أَتَاهُ الْأَمْرُ يَكْرَهُهُ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ»

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, Beliau mengucapkan, "Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shaalihaat," (artinya : segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya kebaikan menjadi sempurna), dan apabila Beliau mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, maka Beliau mengucapkan, "Alhamdulillah 'alaa kulli haal," (artinya : segala puji bagi Allah dalam keadaan bagaimana pun)." (HR. Ibnussunniy dalam Amalul yaumi wal Lailah dan Hakim, ia menshahihkannya, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 6440)

Salah satu bentuk sabar adalah dengan tidak mengharapkan kematian hanya karena musibah yang menimpanya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَتَمَنَيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَلْيَقُلْ : اَللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيراً لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفاَةُ خَيْراً لِي

“Janganlah salah seorang di antara kamu ingin mati hanya karena musibah yang menimpanya, jika memang harus demikian, maka ucapkanlah, “Ya Allah, hidupkanlah aku, jika kehidupan itu baik buatku. Dan wafatkanlah aku jika wafat itu lebih baik buatku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Dianjurkan bagi orang yang sakit untuk berobat dengan obat-obatan yang mubah (halal). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ الدَّاءَ وَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَ لاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram." (HR. Thabrani dalam Al Kabir dari Ummud Darda', dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1762)

3. Tidak mengapa baginya melakukan ruqyah (jampi-jampi) dari ayat-ayat Al Qur’an atau doa-doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»

"Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak ada kemusyrikan di dalamnya." (HR. Muslim)

Para ulama sepakat bolehnya melakukan ruqyah apabila terpenuhi tiga syarat :

  1. Diambil dari firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, atau nama-nama dan sifat-Nya atau dari sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam.
  2. Dengan menggunakan bahasa Arab atau dengan kata-kata yang bisa dipahami maknanya.
  3. Meyakini bahwa ruqyah itu tidaklah berpengaruh dengan sendirinya, bahkan dengan kuasa Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan ruqyah hanyalah sebab.

Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy disebutkan, “Bahwa sebagian sahabat Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersafar pernah melewati salah satu perkampungan di antara perkampungan orang Arab, para sahabat lalu meminta orang-orang kampung tersebut untuk menjamu mereka, lalu orang-orang kampung itu menolaknya. Setelah itu mereka bertanya, “Adakah di antara kalian orang yang bisa meruqyah, karena kepala kampung sedang terkena sengatan atau terkena musibah?” Maka salah seorang sahabat berkata, “Ya (ada)”, ia pun mendatangi kepala kampung dan meruqyahnya dengan surat Al Fatihah. Maka dengan seketika kepala kampung itu pun sembuh, ia (kepala kampung) lalu memberikan sekawanan kambing, namun sahabat tersebut enggan menerimanya, sambil berkata, “Nanti dulu, sampai saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,” maka ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan kejadian itu dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah saya tidak meruqyah selain dengan surat Al Fatihah”, Beliau pun tersenyum dan berkata, “Dari mana kamu tahu bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah? Ambillah (kambing itu) dari mereka, dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagiannya.”

Hadits ini menjelaskan bahwa salah satu cara meruqyah adalah dengan membacakan ayat Al Qur’an di hadapan si sakit, bukan dengan menyuruh orang-orang bersama-sama membacanya seperti di zaman sekarang, “Mari sama-sama kita membacakan untuknya surat Al Fatihah, ilaa hadhratil mushthafaa rasulillah wa ‘alaa niyyatin shaalihah Al Faatihah…dst.” sedangkan si sakit tidak berada di hadapan, ini adalah bid’ah. Di samping itu, apabila kita perhatikan isi kata-kata itu, yang ditujukan bukanlah kepada si sakit, tetapi kepada Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam.

4. Tidak diperbolehkan baginya memakai jimat dan menggunakan jampi-jampi yang mengandung syirk. Orang yang memakai jimat untuk menangkal penyakit dan lainnya telah berbuat syirk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barang siapa yang memakai jimat, maka ia telah berbuat syirk." (HR. Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 6394)

5. Hendaknya orang yang sakit mengetahui bahwa amalan yang dikerjakannya semasa sehatnya akan dicatat juga ketika sakitnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»

"Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya amal yang biasa dia kerjakan ketika mukim (tidak safar) dan sehat." (HR. Bukhari)

6. Hendaknya orang yang sakit berhusnuzh zhan (berbaik sangka) kepada Allah, yaitu bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala akan merahmatinya dan tidak mengazabnya, akan mengampuninya serta tidak menghukumnya. Ia juga meyakini sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

"Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, dan kegundahan, sampai duri yang mengenainya melainkan Allah akan menghapuskan kesahalan-kesalahannya dengan sebab itu." (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Seorang muslim hendaknya menjenguk saudaranya yang sakit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

فُكُّوا العَانِيَ، يَعْنِي: الأَسِيرَ، وَأَطْعِمُوا الجَائِعَ، وَعُودُوا المَرِيضَ

"Bebaskanlah tawanan, berilah makan orang yang lapar, dan jenguklah orang yang sakit." (HR. Bukhari)

Adapun keutamaannya adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُودُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الجَنَّةِ

"Tidak ada seorang muslim pun yang menjenguk muslim lainnya (yang sakit) di waktu pagi kecuali akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai sore hari, dan jika menjenguknya di sore hari, maka akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai pagi hari dan ia memperoleh buah yang akan dipetik di surga." (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5767).

8. Bagi orang yang menjenguk hendaknya mendoakan kesembuhan bagi orang yang sakit, mewasiatkannya untuk bersikap sabar, mengucapkan kata-kata yang menyejukkan hatinya, tidak terlalu lama duduk-duduk di dekatnya, serta tidak memaksanya untuk makan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُكْرِهُوْا مَرْضَاكُمْ عَلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، فَإِنَّ اللهَ يُطْعِمُهُمْ وَيَسْقِيْهِمْ

"Janganlah kalian memaksa orang-orang yang sakit untuk makan dan minum, karena Allah yang memberi mereka makan dan minum."  (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 727)

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menjenguk orang sakit mengucapkan,

لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

"Tidak apa-apa. Insya Allah membersihkan (dari dosa)." (HR. Bukhari)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Apabila di antara kami ada seorang yang sakit, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanannya dan berdoa,

أَذْهِبِ الْبَاسَ، رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Hilangkanlah derita wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkaulah Yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan dari-Mu tidak meninggalkan penyakit." (HR. Muslim)

Utsman bin Abil 'Ash Ats Tsaqafiy meriwayatkan, bahwa ia pernah mengadukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap sakit yang dirasakannya sejak ia masuk Islam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

«ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ»

"Letakkanlah tanganmu pada bagian badan yang terasa sakit, dan ucapkanlah, "Bismillah," (artinya: dengan nama Allah) sebanyak 3x, dan ucapkanlah sebanyak 7x, "A'udzu billah…dst." (artinya: Aku berlindung kepada Allah dari keburukan yang aku rasakan dan aku khawatirkan). (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَعُودُ مَرِيضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَيَقُولُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُ اللَّهَ العَظِيمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ إِلَّا عُوفِي

"Tidak ada seorang muslim yang menjenguk orang yang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia mengucapkan sebanyak 7x, "As'alullahal 'azhiim…sampai "Yasyfiyak," (artinya: Aku meminta kepada Allah Yang Maha Agung; Tuhan pemilik Arsyi yang besar agar Dia menyembuhkanmu) melainkan akan disembuhkan sakitnya." (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Abu Sa'id, bahwa Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau sakit?" Beliau bersabda, "Ya." Maka malaikat Jibril mengucapkan,

بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ، وَعَيْنٍ حَاسِدَةٍ، بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ وَاللَّهُ يَشْفِيكَ

"Dengan nama Allah. Aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa, dan dari mata yang jahat. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu, dan Allah yang menyembuhkanmu." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Catatan :

1. Para ulama sepakat, bolehnya berobat kepada orang kafir jika ia amanah terhadap seorang muslim. Demikian juga bolehnya laki-laki mengobati wanita dan wanita mengobati laki-laki ketika darurat, dan batasannya disesuaikan kadar daruratnya; tidak melebihinya. Alasannya adalah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta bantuan kepada salah seorang kaum musyrik dalam sebagian urusan (seperti untuk menunjuki jalan ketika hijrah), dan para sahabat yang wanita juga pernah mengobati kaum muslim yang terluka dalam jihad fi sabillah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata, "Kami berperang bersama Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, kami beri minum orang-orang (para sahabat), membantu mereka, dan mengembalikan mereka yang terbunuh dan terluka ke Madinah." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad).

2. Dibolehkan membuat tempat pencegahan penyakit (karantina), bahkan dianjurkan bagi orang-orang yang terkena penyakit menular agar dipisahkan dari orang yang sakit lainnya. Demikian juga orang yang sehat agar dicegah dari mendatanginya selain perawat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemilik unta,

لاَ يُوْرَدَنَّ مُمَرِّضٌ عَلىَ مُصِحٍّ

“Jangan didatangkan hewan yang sakit ke hewan yang sehat.” (HR. Muslim)

Apabila kepada hewan saja diperintahkan demikian, apalagi kepada manusia, tentu lebih diperintahkan lagi. Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam tentang tha’un,

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا عَلَيْهِ وَإِذَا دَخَلَهَا عَلَيْكُمْ فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا فِرَارًا » .

“Apabila kalian mendengar ada Tha’un di suatu tempat, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi apabila tha’un berada di tempat kamu, maka janganlah pergi melarikan diri darinya.” (HR. Muslim)

Adapun maksud sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,

لاَ عَدْوَى

“Tidak ada penyakit menular.” (HR. Muslim)

Maksudnya adalah tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya yakni tanpa iradah Allah, karena tidak ada yang terjadi di alam semesta ini sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, dan ini tidaklah menafikan untuk menjalani sebab dengan berusaha menjaga diri darinya, tentunya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat menjaga diri dari hal itu selain Allah dan bahwa orang yang tidak dijaga Allah tidak mungkin selamat, bahkan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang unta yang berkudis,

وَمَنْ اَعْدَى الْأَوَّلَ ؟

“Siapakah yang memulai pertama?”

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa terkena itu adalah karena Allah saja, dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.” (Lihat kitab Minhajul Muslim hal. 208 karya Abu Bakar Al Jazaa’iriy)

Dalam Fat-hul Majid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan disebutkan, “Apabila seseorang bertawakkal tinggi kepada Allah serta beriman kepada qadha’ Allah dan qadar-Nya, ia pun memberanikan diri untuk mendekati orang yang sakit menular karena adanya maslahat baik bagi masyarakat umum maupun bagi orang itu dengan berharap kepada Allah agar tidak sampai tertular penyakit maka boleh-boleh saja.”

3. Para ulama menjama' (mengkompromikan) antara hadits yang menerangkan tentang tidak ada penyakit menular dengan hadits yang merintahkan menjauhi orang yang terkena penyakit kusta, yaitu bahwa perintah menjauhi orang yang terkena penyakit kusta adalah sebagai saddudz dzari'ah (menutup celah), yakni agar orang yang bergaul dengan orang yang berpenyakit kusta yang kemudian ia juga tertimpa penyakit kusta secara takdir bukan karena menular sendiri, akhirnya membuatnya meyakini, bahwa ada penyakit yang menular dengan sendirinya, ia pun jatuh ke dalam dosa karena keyakinan ini.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.35 dan 3.45, Silsilatul Ahaditsish Shahihaah (M. Nashiruddin Al Albani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza'iriy), Modul Akhlak jilid 4 (Penulis), dll.