بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang adab ziarah kubur, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Pengantar

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat kuburan, lalu Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” Wanita itu menjawab, “Menyingkirlah dariku! Karena engkau tidak mendapatkan musibah seperti diriku,” wanita ini tidak mengenal bahwa Beliau adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diberitahukan, bahwa yang berbicara tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun segera mendatangi pintu rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ternyata ia tidak menemukan penjaga pintunya, lalu ia bertemu dengan Beliau dan berkata, “Tadi aku tidak mengenalmu,” maka Beliau bersabda,

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى

“Sesungguhnya kesabaran itu dilakukan ketika benturan pertama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Musibah membutuhkan kesabaran, dimana seorang muslim perlu menghiasi dirinya saat musibah itu datang.

Ada empat tingkatan sikap seseorang ketika menghadapi musibah, yaitu:

1. Keluh kesah, ini hukumnya haram.

2. Sabar, ini hukumnya wajib.

3. Ridha, ini dianjurkan.

4. Syukur, ini yang terbaik.

Tujuan Ziarah Kubur

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

“Dahulu aku melarang kalian menziarahi kubur, namun sekarang ziarahilah.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi kubur ibunya, lalu Beliau menangis, dan menangis pula orang-orang yang di sekeliling Beliau, kemudian Beliau bersabda,

«اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي تَعَالَى عَلَى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، فَاسْتَأْذَنْتُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ بِالْمَوْتِ»

“Aku meminta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampunan untuknya (ibunda Beliau), namun tidak diizinkan, maka aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka Dia mengizinkan. Ziarahilah kubur, karena ia dapat mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dan Abu Dawud, namun lafaz “ziarahilah kubur” adalah tambahan dalam riwayat Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Dari Hani maula Utsman radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Utsman saat berdiri di atas kubur menangis hingga membasahi janggutnya, kemudian ada yang berkata kepadanya, “Mengapa ketika disebutkan surga dan neraka engkau tidak menangis, tetapi menangis karena hal ini?” Ia menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَبْرُ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ، فَإِنْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ، فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ

“Kubur adalah awal persinggahan menuju akhirat. Jika selamat di situ, maka setelahnya lebih mudah, tetapi jika tidak selamat di situ, maka setelahnya akan lebih susah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ

“Aku belum pernah melihat suatu pemandangan yang lebih mengerikan daripada kubur.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka tujuan ziarah kubur dalam Islam adalah:

Pertama, membuat zuhud terhadap dunia dengan mengingat akhirat dan mengingat kematian.

Kedua, berbuat ihsan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia dengan mendoakan mereka.

Perlu diketahui, bahwa ziarah kubur dianjurkan baik bagi laki-laki maupun wanita berdasarkan keumuman hadits di atas. Akan tetapi, tidak boleh bagi kaum wanita sering melakukan ziarah kubur. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering ziarah kubur. (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)

Imam Tirmidzi berkata, “Sebagian ulama berkata, “Makruhnya ziarah kubur bagi kaum wanita adalah karena kurangnya kesabaran mereka dan seringnya mereka keluh kesah.” (Sunan At Tirmidzi 3/362).

Adab Ziarah Kubur

A. Berniat ikhlas karena Allah agar mendapatkan keridhaan-Nya, demikian pula agar hatinya lembut dan tidak keras, serta membuatnya ingat akan akhirat.

B. Memberi salam dan mendoakan kaum muslimin dan muslimat yang telah meninggal dunia.

Dari sulaiman bin Buraidah dari ayahknya radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para sahabat) apabila keluar mendatangi pekuburan untuk mengucapkan,

اَلسَّلَامُ عَلَى أَهْلِ اَلدِّيَارِ مِنَ اَلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اَللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ, أَسْأَلُ اَللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu wahai penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin, dan kami Insya Allah akan menyusulmu, aku meminta kepada Allah perlindungan-Nya untuk kami dan kamu.” (HR. Muslim)

Adapun kepada kubur kaum kafir, maka dianjurkan menyampaikan berita gembira dengan api neraka.

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Az Zuhri, dari Salim, dari ayahnya ia berkata, “Seorang Arab badui pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku menyambung tali silaturrahim, ia melakukan ini dan itu, di manakah tempatnya?” Beliau bersabda, “Dia di neraka.” Mendengar jawaban itu, orang Arab badui ini marah dan berkata, “Wahai Rasulullah, di mana tempat ayahmu?” Maka Beliau bersabda,

«حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ مُشْرِكٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ»

 “Di mana saja engkau lewati kuburan orang musyrik, maka sampaikan kabar gembira kepadanya dengan neraka.”

Maka orang Arab badui itu pun masuk Islam dan berkata, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membebaniku suatu yang melelahkan. Tidaklah aku melewati kuburan orang kafir, melainkan aku berikan kabar gembira dengan neraka.” (Dishahihkan oleh Al Albani).

C. Tidak duduk dan menginjak kuburan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Sungguh, duduknya salah seorang di antara kamu di atas bara api sampai membakar bajunya dan menembus ke kulitnya lebih baik daripada duduk di atas kuburan.” (HR. Muslim)

D. Tidak mencari keberkahan kepada kuburan dan tidak menciumnya, apalagi sampai thawaf di kuburan.

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al Aql berkata, “Berkah berasal dari Allah Ta'ala. Namun Allah mengkhususkan sebagian makhluk-Nya dengan sebagian keberkahan sesuai yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, sesuatu tidak boleh dinyatakan mempunyai berkah kecuali berdasarkan dalil. Berkah artinya kebaikan yang banyak dan bertambah atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang. Waktu-waktu yang mengandung keberkahan seperti malam lailatul Qadar. Adapun tempat yang ada berkahnya seperti masjid yang tiga (Masjidilharam, masjid Nabawi dan masjid Al Aqsha). Benda yang ada berkahnya seperti air Zamzam. Amal yang ada berkahnya adalah setiap amal saleh yang memang diberkahi, dan pribadi yang ada berkahnya adalah seperti para nabi. Kita tidak boleh mencari berkah kepada manusia dan peninggalan mereka, kecuali kepada pribadi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sesuatu yang terpisah dari badannya, seperti air liur Beliau, keringat dan rambutnya karena dalil yang ada hanya menyatakan demikian. Namun hal ini tidak berlaku lagi setelah wafatnya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan hilangnya apa yang disebutkan itu. Tabarruk (mencari berkah) termasuk perkara yang tawqifi (tergantung ada atau tidak dalilnya). Oleh karena itu, tidak boleh bertabarruk kepada sesuatu kecuali pada hal yang telah dinyatakan oleh dalil.” (Mujmal Ushul Ahlissunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah tentang Tabarruk).

Menurut penulis, ada dua kesalahan manusia dalam masalah tabarruk (mencari berkah), yaitu:

1. Bertabarruk dengan sesuatu yang di sana tidak disebutkan ada berkahnya oleh nash.

Contohnya: bertabarruk dengan kuburan para wali, bertabarruk dengan pribadi orang saleh dan peninggalannya (seperti dengan ludahnya, keringatnya, sisa minumannya, pecinya, bajunya, dsb.) bertabarruk dengan hari Isra’-mi’raj, hari hijrah, hari terjadinya perang Badar, hari Fat-hu Makkah, dsb. Bertabarruk dengan tanah karbala, bertabarruk dengan keris, sabuk, jimat, dsb. Demikiian pula bertabarruk dengan nasi tumpeng,  bertabarruk dengan pohon atau benda yang dikeramatkan. Bertabarruk dengan batu, dan lain-lain. Umar bin Khattab pernah berkata ketika mencium Hajar Aswad, ”Sungguh, aku tahu bahwa kamu hanya sebuah batu; tidak dapat menimpakan bahaya dan tidak memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

2. Bertabarruk dengan cara yang tidak sesuai Sunnah. Contohnya adalah mencium atau mengusap-usap dinding dan tanah masjid, bahkan yang benar adalah dengan melakukan berbagai ibadah di masjid tersebut seperti pada masjid yang tiga; tidak hanya ziarah saja. Contoh lainnya adalah mengamalkan amalan yang tidak dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu atau tempat yang diberkahi, seperti membaca surah Yasin pada malam atau siang hari Jum’at. Membaca Barzanji dan ratib pada saat-saat tertentu, dsb.

 E. Tidak shalat di pekuburan dan menghadap kepadanya ketika shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ، وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا»

“Janganlah shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.” (HR. Muslim dari Abu Martsad Al Ghanawi)

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

"Ingatlah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Ingatlah! Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian terhadap perbuatan itu." (HR. Muslim)

F. Tidak mencaci maki penghuni kubur selama mereka meninggal di atas Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الأَمْوَاتَ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

“Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menerima (balasan) apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

G. Tidak berjalan di antara pekuburan kaum muslimin memakai sandal Sibtiyyah (sandal dari kulit yang disamak dengan daun salam).

Imam Ahmad memakruhkan seseorang berjalan di antara pekuburan dengan sandal Sibtiyyah. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Basyir maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang yang berjalan di antara pekuburan dengan sandalnya, maka Beliau bersabda,

«يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ»

“Wahai pemakai dua sandal Sibtiyyah! Kasihanilah dirimu, lepaskanlah kedua sandal Sibtiyyahmu.”

Maka orang itu pun melihat, dan ketika ia mengetahui bahwa yang memerintahkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia melepasnya dan melemparnya (Dihasankan oleh Al Albani).

Al Khaththabi berkata, “Sepertinya di makruhkan hal itu, karena di dalamnya terdapat bentuk kesombongan. Hal itu, karena sandal Sibtiyyah termasuk sandal orang mewah.” Ia juga berkata, “Oleh karena itu, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai masuk ke pekuburan dengan tampilan tawadhu dan pakaian orang-orang khusyu.”

Makruhnya hal tersebut menurut Imam Ahmad adalah ketika tidak ada uzur, tetapi ketika ada uzur yang menghalangi untuk melepasnya, seperti ada duri atau najis, maka makruhnya hilang.

Adapun jika bukan sandal Sibtiyyah dan semisalnya (mewah), maka menurut kebanyakan Ahli Ilmu tidak mengapa. Jarir bin Hazim berkata, “Aku melihat Al Hasan dan Ibnu Sirin berjalan di antara kubur memakai sandal.”

Dan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Anas secara marfu (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa seorang hamba ketika telah diletakkan di kubur, lalu kawan-kawannya telah pergi meninggalkannya, maka ia mendengar bunyi sandal mereka.

Hal ini menunjukkan bolehnya memakai sandal selain Sibtiyyah ketika berjalan di antara kubur, wallahu a’lam (Lihat pula Fiqhus Sunnah 1/551 karya Syaikh Sayyid Sabiq).

H. Tidak perlu menabur bunga ketika ziarah kubur

Hal itu, karena perbuatan ini tidak pernah dikerjakan oleh kaum salaf (generasi pertama Islam).

Catatan :

Tidak diperbolehkan melakukan hal-hal berikut di kuburan:

1. Menyembelih hewan, meskipun karena Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَعَقْرَ فِي الْاِسْلاَمِ

“Tidak ada penyembelihan di kubur dalam Islam.” (HR. Abu Dawud, Baihaqi, dan Ahmad, dan dinyatakan isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim oleh Syaikh Al Albani).

2. Meninggikan kuburan melebihi tanah yang dikeluarkan daripadanya.

3. Mengecatnya.

4. Menuliskan nama.

5. Membuat bangunan di atasnya.

6. Duduk di atasnya.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

[نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنىَ عَلَيْهِ، [أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ] ، [أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kubur dikapuri (dicat), diduduki, dibuat bangunan di atas, ditinggikan melebihi (tanah yang dikeluarkan daripadanya), dan dituliskan nama di atasnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menshahihkannya, Hakim, Baihaqi, dan Ahmad, dua tambahan di atas riwayat Abu Dawud dan Nasa’i).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), Maktabah Syamilah versi 3.45, http://islam.aljayyash.net , Ahkamul Janaiz (M. Nashiruddin Al Albani) dll.