بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan penjelasan tentang urgensi (pentingnya) menuntut ilmu agama, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Mengapa kita harus mempelajari ilmu agama?

      9. Ilmu tidak sulit untuk dijaga; berbeda dengan harta.

Terhadap harta, uang misalnya, engkau harus menjaganya di tempat yang aman agar tidak hilang, di samping dirimu harus terus waspada terhadapnya. Adapun ilmu agama, dialah yang menjagamu agar tidak salah langkah, dan dengan memilikinya dirimu merasa tenang.

      10. Allah menjadikan Ahli Ilmu sebagai saksi atas keesaan-Nya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)

Cukuplah kebanggaan bagimu wahai penuntut ilmu, bahwa dirimu termasuk orang-orang yang dijadikan saksi oleh Allah atas keesaan-Nya.

      11. Ahli Ilmu termasuk ulil amri (pemegang urusan atau kuasa).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59)

Para ulama menafsirkan ulil amri di sini dengan umara (pemerintah) dan ulama. Hal itu, karena wilayah ulama adalah menerangkan syariat Allah dan mengajak manusia kepadanya, sedangkan wilayah umara adalah memberlakukan syariat Allah dan menekan manusia untuk mengikutinya.

      12. Memahami agama merupakan tanda, bahwa Allah menginginkan kebaikan kepada dirinya, dan bahwa merekalah al firqah an najiyah (golongan yang selamat)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ، لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

“Barang siapa yang diinginkan Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan pahamkan terhadap agama. Saya hanyalah menyampaikan ilmu, namun Allah yang memberinya. Akan senantiasa ada di umat ini orang-orang yang menjaga perintah Allah, tidak meresahkan mereka orang-orang yang menyelisihinya sampai datang janji Allah (hari Kiamat).” (HR. Bukhari)

Paham terhadap agama di sini mencakup paham tehadap akidah yang benar dan syariat-syariat dalam agama ini.

Imam Ahmad berkata tentang orang-orang yang menjaga perintah Allah dalam hadits di atas, “Jika mereka bukan Ahli Hadits, maka aku tidak mengetahui siapa mereka.”

Al Qadhiy Iyadh berkata, “Maksud Imam Ahmad adalah Ahlussunnah dan orang yang berakidah seperti akidah Ahli Hadits.”

      13. Orang yang memiliki ilmu agama tidak mengapa dighibthahi (diiirikan)

Iri yang tidak tercela adalah ghibthah, yakni seseorang berkeinginan memiliki apa yang ada pada orang lain tanpa ada keinginan agar apa yang ada pada orang lain hilang daripadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan iri kepada Ahli Ilmu yang mengamalkannya, dan kepada orang kaya yang menggunakan hartanya di jalan Allah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang; seorang yang Allah berikan harta, lalu ia keluarkan untuk kebenaran, dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu), lalu ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

      14. Orang yang berilmu dan mengamalkannya seperti permukaan tanah yang baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan tanaman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ»

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan membawanya adalah seperti hujan yang lebat yang turun mengenai tanah. Di antara jenis tanah itu, ada tanah yang baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Ada pula tanah yang keras, yang menahan air (tergenang), sehingga Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya, mereka dapat meminumnya, memberi minum hewan ternaknya, dan menyiram tanaman. Ada pula permukaan tanah yang datar dan licin yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham terhadap agama Allah dan dapat memanfaatkan apa yang aku diutus dengannya, dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya dengan orang yang tidak peduli terhadapnya serta tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

      15. Orang yang berilmu merupakan cahaya bagi manusia yang menunjuki mereka dalam urusan agama dan dunia

Sudah kita ketahui bersama, kisah seorang dari kalangan Bani Israil yang telah membunuh 99 orang, lalu ia ingin bertaubat, kemudian ia bertanya kepada Ahli Ibadah, namun bukan Ahli Ilmu tentang taubatnya, yakni masih bisa diterimakah taubatnya. Kemudian Ahli Ibadah itu menyatakan tidak diterima, hingga Ahli Ibadah ini pun dibunuh, sehingga yang ia bunuh menjadi 100 orang. Orang itu pun tidak berputus asa dan akhirnya bertemu dengan Ahli Ilmu, lalu ia bertanya tentang taubatnya, yakni apakah masih diterima taubatnya, lalu Ahli Ilmu menyatakan masih bisa diterima taubatnya, dan menyuruhnya pergi mendatangi kampung orang-orang saleh agar tidak kembali melakukan maksiat itu, namun di tengah perjalanan ke sana, maut tiba, dan Allah menerima taubatnya. Perhatikanlah bagaimana perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.

      16. Allah Azza wa Jalla menyuruh Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta kepada-Nya tambahan ilmu; bukan harta.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Dan katakanlah, “Ya Rabbi, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)

Kalau sekiranya harta lebih utama daripada ilmu, tentu Allah menyuruh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan harta; bukan ilmu.

Hukum menuntut ilmu agama

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Menuntut ilmu syar’i hukumnya fardhu kifayah, dimana jika sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka bagi yang lain hukumnya sunah. Tetapi menuntut ilmu bisa menjadi wajib atau fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim), batasannya adalah mengetahui ibadah yang hendak dilakukannya atau mu’amalah yang hendak dijalankannya, maka dalam kondisi ini ia wajib mengetahui bagaimana ia beribadah kepada Allah dan bagaimana seharusnya ia menjalankan muamalah itu. Selain itu adalah fardhu kifayah. Dan bagi penuntut ilmu seharusnya merasakan bahwa dirinya sedang melakukan perbuatan fardhu kifayah agar ia memperoleh pahala orang yang mengerjakan amalan fardhu (kifayah) di samping memperoleh ilmu. Dan tidak diragukan lagi, bahwa menuntut ilmu termasuk amalan yang utama, bahkan termasuk jihad fi sabillah.” (kitabul Ilmi, pasal ke-3, hukmu thalibil ilmi).

Ilmu yang fardhu ‘ain juga bisa didefinisikan dengan ilmu yang seorang muslim harus mengetahuinya, seperti ilmu akidah, ilmu tentang ibadah yang hendak ia lakukan, dan muamalah yang hendak ia jalankan agar ibadah dan muamalahnya benar.  

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’: Kitabul Ilmi (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.