بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah dan lainnya, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

**********

BAB : BERNADZAR UNTUK SELAIN ALLAH ADALAH SYIRIK

Firman Allah Ta’ala,

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Mereka menunaikan nadzar dan takut terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 7)

وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللهَ يَعْلَمُهُ

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)

**********

Penjelasan :

Pada bab ini, penyusun hendak menerangkan salah satu macam syirik yang dapat menafikan Tauhid, yaitu bernadzar untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar kita berhati-hati terhadapnya dan menjauhinya.

Nadzar artinya mewajibkan kepada dirinya perkara yang secara syara’ tidak wajib sebagai bentuk ta’zhim (pengagungan) kepada sesuatu yang membuatnya bernadzar. Nadzar termasuk ibadah. Oleh karena itu, mengarahkannya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik.

Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka yang beribadah kepada-Nya dalam bentuk nadzar, dimana mereka mewajibkan diri mereka mengerjakan ketaatan yang hukumnya sunah. Allah Subhaanahu wa Ta’ala  juga memberitahukan, bahwa Dia mengetahui sedekah yang mereka keluarkan dan ibadah yang mereka lazimi dalam bentuk nadzar, dan bahwa Dia akan memberikan balasan terhadapnya sesuai niat yang ada di hatinya.

Kesimpulan:

1. Nadzar adalah Ibadah, maka mengarahkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Syirik.

2. Menetapkan Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.

3. Menetapkan adanya pembalasan terhadap amal.

4. Dorongan untuk menunaikan Nadzar.

**********

Dalam Kitab Shahih, dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ»

“Barang siapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka taatilah. Dan barang siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka jangan lakukan.”

**********

Penjelasan :

Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari no. 6696, Abu Dawud no. 3289, Tirmidzi no. 1526, Ibnu Majah no. 2126, dan Ahmad 6/36, 41.

Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, puteri Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia adalah wanita yang paling pandai dalam bidang fiqh dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia wafat pada tahun 57 H.

Hadits di atas menerangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar melakukan ketaatan agar memenuhinya, seperti bernadzar untuk melakukan shalat sunah atau sedekah sunah, dsb. Dan Beliau melarang orang yang bernadzar untuk melakukan kemaksiatan agar tidak memenuhinya, seperti nadzar untuk menyembelih kepada selain Allah, shalat di dekat kuburan, atau mengadakan safar ke makam tertentu, dan kemaksiatan lainnya.

Hadits di atas juga menjelaskan, bahwa nadzar bisa berupa ketaatan dan bisa berupa kemaksiatan, dan bahwa nadzar itu ibadah. Oleh karena itu, mengarahkannya kepada selain Allah adalah syirik.

Kesimpulan :

1. Nadzar adalah ibadah, maka mengarahkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik.

2. Wajibnya memenuhi Nadzar.

3. Larangan memenuhi Nadzar yang mengandung maksiat.

**********

BAB : MEMINTA PERLINDUNGAN KEPADA SELAIN ALLAH ADALAH SYIRIK

Firman Allah Ta’ala,

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwa ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6)

**********

Penjelasan :

Pada bab ini pula, penyusun hendak menerangkan salah satu macam syirik yang dapat menafikan Tauhid, yaitu meminta perlindungan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menerangkan, bahwa ada sebagian manusia yang berlindung kepada jin, misalnya ketika mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap berkuasa di tempat itu, maka jin-jin itu hanya menambah mereka ketakutan dan menambah dosa mereka.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Ayat tersebut menunjukkan, bahwa meminta perlindungan kepada jin adalah haram, karena mereka menginginkan keamanan darinya, namun ternyata jin-jin itu hanya menambah rasa takut dalam diri mereka, sehingga mereka dihukum dengan balasan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ada pula yang berpendapat, bahwa maksud ayat itu adalah kebalikannya, yakni manusia (yang meminta perlindungan kepada jin), maka mereka hanya menambahkan kepada jin sikap sombong dan melampaui batas. Akan tetapi pendapat yang benar, bahwa pelaku (yang menambah dosa) adalah jin sebagaimana diterangkan sebelumnya.” (Al Qaulul Mufid hal. 252)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Dahulu jin-jin takut kepada manusia sebagaimana manusia takut kepada mereka atau lebih dari itu; ketika ada orang yang singgah di sebuah lembah, maka jin akan segera pergi. Tetapi ketika ada pemimpin sebuah kaum (dari kalangan manusia) berkata, “Kami berlindung kepada penghuni lembah ini,” maka jin berkata, “Kita melihat ternyata mereka takut kepada kita sebagaimana kita takut kepada mereka,” maka mereka pun mendekati manusia dan menimpakan kegilaan dan kesurupan kepada mereka. Itulah maksud firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat,” yakni bertambah dosanya.

Dalam ayat di atas (lihat surat Al Jin secara keseluruhan), Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan kisah jin-jin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selanjutnya mereka menyampaikan perbuatan syirik yang terjadi di kalangan manusia, di antaranya adalah meminta perlindungan kepada jin.

Kesimpulan :

1. Meminta perlindungan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala termasuk perbuatan syirik.

2. Risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tertuju kepada jin dan manusia.

3. Jin ada yang laki-laki dan ada yang wanita. Ada yang saleh dan ada pula yang fasik. Ada yang beriman dan ada pula yang kafir.

4. Meminta perlindungan kepada selain Allah membuat pelakunya bertambah takut, lemah, dan berdosa.

5. Meminta perlindungan kepada Allah membuat pelakunya mendapatkan keamanan, kekuatan, dan bertambah keimanannya.

**********

Dari Khaulah binti Hakim ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang singgah di sebuah tempat, lalu berdoa,

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Aku berlindung dengan kalimat Allah (Al Qur’an) Yang Sempurna dari keburukan makhluk-Nya,

maka tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakannya sampai ia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim)

**********

Penjelasan :

Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2708, Tirmidzi no. 3433, Ibnu Majah no. 3547, dan Ahmad 6/377, 409.

Khaulah binti Hakim bin Umayyah As Sulamiyyah adalah seorang sahabiyah, istri Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu. Panggilannya Ummu Syuraik.

Sabda Beliau ‘Barang siapa yang singgah di sebuah tempat’ yakni baik untuk menetap maupun hanya sementara.

Tentang ‘kalimat Allah’ menurut Syaikh Ibnu Utsaimin berupa kalimat kauniyyah (firman Allah di alam semesta) dan kalimat syar’iyyah (firman Allah dalam syariat-Nya). Adapun maksud ‘yang sempurna’ maka karena dua hal, yaitu: benar pada beritanya dan adil dalam hukumnya.

Sabda Beliau, ‘dari keburukan makhluk-Nya,’ yakni dari keburukan ciptaan-Nya. Yang demikian adalah karena Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan, namun keburukan tidak dapat disandarkan kepada-Nya. Hal itu, karena Dia yang menciptakan keburukan itu disebabkan suatu hikmah, dan karena hikmah itu maka menjadi hal yang baik. Oleh karenanya, kita katakan, bahwa keburukan itu bukan pada perbuatan Allah, tetapi pada  makhluk ciptaan-Nya.

Dengan demikian, makhluk ciptaan Allah Azza wa Jalla ada tiga keadaan:

Pertama, yang murni buruk, seperti api dan Iblis, dengan melihat dzat (diri) keduanya. Adapun jika melihat kepada hikmah yang karenanya Allah ciptakan mereka, maka itu adalah kebaikan.

Kedua, yang murni baik, seperti surga dan para rasul.

Ketiga, yang di dalamnya terdapat kebaikan dan keburukan, seperti yang ada pada diri manusia pada umumnya.

Nah, yang kita memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla darinya adalah keburukan yang ada di dalamnya.

Sabda Beliau, ‘Maka tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakannya sampai ia beranjak dari tempat itu’ menunjukkan umum karena bentuk katanya nakirah (umum), sehingga dia tidak dapat ditimpakan bahaya baik oleh setan dari kalangan jin maupun manusia, bahkan selain keduanya seperti hewan.

Apa yang Beliau sabdakan di atas adalah benar.  Jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang Beliau sabdakan, maka karena adanya penghalang yang menghalanginya memperoleh keutamaan itu. Sama dalam hal ini semua sebab syar’i yang engkau lakukan, namun hasilnya tidak diperoleh, maka hal ini bukan karena ada cacat pada sebab itu, tetapi karena adanya penghalang. Misalnya membacakan surat Al Fatihah kepada orang yang sakit merupakan obat penawar, lalu ada sebagian manusia yang membacanya, tetapi tidak juga sembuh, maka bukan karena sebabnya, tetapi karena adanya penghalang. Maka hendaknya kita periksa apa penghalangnya?

Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Aku pun melakukan hal itu (membaca doa di atas), hingga tiba suatu hari aku lupa membacanya, lalu aku masuk ke rumah, tiba-tiba aku disengat kalajengking.”

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya agar meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla agar terhindar dari marabahaya ketika singgah di sebuah tempat. Doa yang Beliau ajarkan di atas juga sebagai ganti permohonan perlindungan kepada selain Allah yang dilakukan kaum musyrik.

Catatan :

  1. Jika seorang berkata, “Kenapa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membuat bab bahwa meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik, namun di sini disebutkan permintaan perlindungan kepada kalimat Allah; bukan kepada Allah?”

Jawab, “ Kalimat Allah termasuk sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, para ulama berdalih dengan hadits di atas, bahwa firman Allah termasuk sifat-Nya, dan bukan makhluk, karena meminta perlindungan kepada makhluk tidak boleh. Kalau sekiranya kalimat Allah itu makhluk, tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruh untuk meminta perlindungan kepadanya. (LIhat Al Qaulul Mufid hal. 255)

Oleh karenanya, dalam bersumpah, kita boleh menggunakan nama-nama Allah maupun sifat-Nya. Tetapi ketika bersumpah dengan ayat, jika maksudnya ayat syar’iyyah (Al Qur’an), maka boleh, tetapi jika maksudnya ayat kauniyyah (alam semesta), maka tidak boleh.

  1. Bolehkah meminta perlindungan kepada makhluk?

Jawab: Dalam hal ini perlu perincian. Jika dalam hal yang makhluk mampu memenuhinya, maka boleh namun dengan syarat hatinya tidak boleh bergantung kepada makhluk dimana ia menaruh rasa harapannya kepada makhluk serta menjadikannya sebagai tempat perlindungannya. Tetapi jika meminta perlindungan dalam hal yang tidak disanggupi mereka, maka tidak boleh, bahkan termasuk syirik.

Kesimpulan :

1. Memohon perlindungan termasuk ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh mengarahkannya kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

2. Permohonan perlindungan yang syar’i bisa dengan nama Allah atau nama-nama-Nya yang lain, atau dengan sifat-sifat-Nya.

3. Firman Allah bukanlah makhluk, karena Allah mensyariatkan meminta perlindungan dengannya.

4. Keutamaan doa di atas.

5. Semua makhluk di bawah kekuasaan Allah Azza wa Jalla.

Bersambung...

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Al Ishabah fi Tamyizis Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), Al Qaulul Mufid (Syaikh M. Bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Penulis), dll.