بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan sebagian perbuatan yang dapat merusak/meniadakan tauhid atau mengurangi kesempurnaannya atau menjadi wasilah (sarana) yang mengarah kepada syirik. Semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Perusak Tauhid

    22. Termasuk syirik juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut ketika menafsirkan ayat "Falaa taj'aluu lillahi andaadaa…dst." Artinya, "Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedangkan kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 22),

"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirik, dimana ia lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan, "Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan,""Demi hidupku," juga mengatakan, "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri,[i]" dan kata-kata, "Jika seandainya tidak ada angsa di rumah  ini tentu kita kedatangan pencuri," juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu[ii]", dan pada kata-kata seseorang"Jika seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)," janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirik."

  1. Termasuk hal yang mengurangi kesempurnaan tauhid adalah seorang budak atau pembantu memanggil majikan dengan kata-kata ‘rabbiy’ (gusti), bahkan hendaknya ia mengganti dengan kata-kata selainnya seperti ‘sayyidiy’ atau ‘mawlaaya’ (tuan). Atau seperti ucapan pembantu kepada majikan,“Hamba siap gusti.” Demikian juga seorang majikan memanggil pembantu ataupun budaknya dengan kata-kata “abdi atau amatiy” (seperti ‘Kemari hai hambaku’), tetapi hendaknya ia mengganti dengan fataaya atau fataatiy atau ghulaamiy (artinya, “kemari de…,”). Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقُلْ أَحَدُكُمُ اسْقِ رَبَّكَ أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ وَلَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ رَبِّي وَلْيَقُلْ سَيِّدِي مَوْلَايَ وَلَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ فَتَاتِي غُلَامِي

“Janganlah salah seorang di antara kamu berkata, “Berilah minum gustimu,” atau “Berilah makan gustimu,” atau “Wudhukanlah gustimu”. Dan janganlah (pembantu) mengatakan “gustiku”. Tetapi katakanlah “sayyidiy (tuanku) dan maulaku.” Janganlah salah seorang di antara kamu (yakni jika sebagai majikan) berkata, “abdiy (hambaku yang laki-laki) atau amatiiy (hambaku yang perempuan),” tetapi katakanlah, “Fataaya, fataatiy atau ghulaamiy (artinya: “kemari de, mbak dsb.”).” (HR. Muslim)

  1. Termasuk hal yang mengurangi kesempurnaan tauhid adalah memaki dahr (masa). Hal itu, karena Allah yang mengatur masa. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ » . 

“Allah Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam menyakitiku, ia memaki masa, padahal Aku-lah yang mengatur masa. Di Tangan-Ku semua urusan; Aku membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Bukhari)

Imam Syaafi’i, Abu ‘Ubaid dan lainnya berkata, “Orang-orang Arab jahiliyyah dahulu apabila tertimpa kesulitan, musibah atau suatu bencana mereka mengatakan,”Yaa khaibatad dahr” (artinya: celaka masa), mereka sandarkan bencana itu kepada masa dan memakinya, padahal yang mengaturnya adalah Allah Ta’ala, oleh karenanya mereka sama saja memaki Allah Azza wa Jalla…dst.”

Demikian juga kita dilarang memaki angin. Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ

“Janganlah kalian memaki angin. Jika kalian melihat hal yang tidak kalian sukai, maka katakanlah,

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu kebaikan angin ini dan kebaikan isinya serta kebaikan yang diperintahkan kepadanya, dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini dan keburukan isinya serta keburukan yang diperintahkan kepadanya.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)

  1. Termasuk hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid adalah memberi nama anak dengan nama “Abdun Nabiy,” (artinya: hamba nabi) atau ‘Abdul ka’bah(hamba ka’bah) atau Abdul Husain (hamba Husain) dan semua nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah. Semua ini tidak boleh, bahkan penghambaan harus kepada Allah saja atau nama-nama Allah lainnya, seperti “Abdullah dan Abdurrahman.”

Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat tentang haramnya setiap nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah Ta’ala, seperti ‘Abdu ‘Amr (hamba si ‘Amr), ‘Abdul Ka’bah (hamba ka’bah) dan sebagainya, selain ‘Abdul Muththalib (saja).

Demikian juga tidak boleh menamai atau menggelari seseorang dengan Malikul amlaak”” (rajanya para raja) atau semisalnya, seperti “Syaahan syaah  (rajanya para raja), termasuk juga “Qaadhil Qudhaat” (hakimnya para hakim). Dalam hadits disebutkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ زَادَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي رِوَايَتِهِ لَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ الْأَشْعَثِيُّ قَالَ سُفْيَانُ مِثْلُ شَاهَانْ شَاهْ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang memberi nama malikul amlaak (artinya: rajanya para raja).” Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya, “Tidak ada Raja selain Allah ‘Azza wa Jalla”. Al Asy’atsiy berkata, “Sufyan mengatakan, “Contoh (lainnya) adalah Syaahan syaah.” (HR. Muslim)

    26. Termasuk hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid adalah menggambar makhluk bernyawa, menggantungkan gambar tersebut di dinding, di majlis maupun lainnya.

Sering kita mendapatkan gambar-gambar makhluk bernyawa berbentuk manusia maupun hewan baik di cover buku, majalah, dll. Lebih menyedihkan lagi adalah apabila gambar makhluk bernyawa tersebut dicantumkan di buku-buku yang bermuatan agama Islam dan dipajang di dinding.

Tentang menggambar makhluk bernyawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Dan barang siapa yang menggambar satu gambar maka ia akan disiksa dan disuruh meniupkan ruh kepadanya, padahal ia tidak mampu meniupnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menggambar makhluk bernyawa dan membuat patung atau rupaka termasuk sarana yang bisa mengarah kepada kesyirikkan, bisa saja suatu saat gambar atau patung tersebut disembah, yakni ketika orang-orang sudah tidak mengenal ajaran agama sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nuh alaihis salam. Oleh karena itu, Islam melarangnya untuk menutup kesempatan bagi setan yang selalu mencari-cari kesempatan agar manusia berbuat syirik kepada Allah dan berbuat pelanggaran.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa




[i] Hal ini syirik jika yang dilihat hanya sebab tanpa melihat kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau seseorang bersandar kepada sebab dan lupa kepada siapa yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Azza wa Jalla.

Namun, tidak termasuk syirik jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memang sebagai sebab berdasarkan dalil syar'i atau hissiy (inderawi) atau pun waqi' (kenyataan), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan neraka yang paling bawah."

[ii] Hal ini syirik, karena kata "dan" menunjukkan keikutsertaan pihak lain di samping Allah. Yang diperbolehkan adalah mengganti kata "dan" dengan kata "kemudian" karena kata “kemudian” tidak menunjukkan keikutsertaan, tetapi menunjukkan tartib ma’at taraakhiy (berlangsung setelah beberapa saat) dan menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ

“Janganlah kalian mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan,” tetapi katakanlah, “Atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan.” (Shahih, HR. Abu Dawud)