بسم الله الرحمن الرحيم

33.لا يعلم الغيب الا الله وحده, واعتقاد أن أحدا غير الله يعلم الغيب كفر, مع الإيمان بأن الله يطلع بعض رسله على شيء من الغيب.

34.اعتقاد صدق المنجمين والكهان كفر واتيانهم والذهاب إليهم كبيرة.

35.الوسيلة المأمور بها فى القران هي ما يقرب إلى الله تعالى من الطاعات المشروعة. والتوسل ثلاثة أنواع:

- مشروع: وهوالتوسل الى الله تعالى بأسمائه وصفاته أوبعمل صالح من المتوسل أوبدعاء الحي الصالح.

- بدعي: وهوالتوسل الى الله تعالى بما لم يرد فى الشرع, كالتوسل بذوات الأنبياء والصالحين أو جاههم أو حقهم أو حرمتهم ونحو ذلك.

- شركي: وهواتخاذ الأموات وسائط فى العبادة ودعائهم وطلب الحوائج منهم والإستعانة بهم ونحو ذلك.

     33. Tidak ada yang mengetahui perkara gaib selain Allah saja. Meyakini bahwa selain Allah ada pula yang mengetahui perkara gaib adalah sebuah kekufuran. Namun kita mengimani bahwa Allah terkadang memperlihatkan sedikit perkara gaib kepada sebagian rasul-Nya.

     34. Percaya kepada ahli nujum dan para dukun adalah kekufuran, sedangkan mendatangi dan pergi ke tempat mereka adalah dosa besar.

     35. Wasilah yang diperintahkan di dalam Al Qur'an ialah apa yang mendekatkan seseorang kepada Allah Ta'ala, berupa ketaatan yang disyariatkan. Tawassul (mengadakan perantara) ada tiga macam:

a) Masyru' (disyari’atkan), yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan asma dan sifat-Nya, dengan amal saleh yang dikerjakannya, atau melalui doa orang saleh yang masih hidup.

b) Bid'ah, yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari'at, seperti tawassul dengan pribadi para nabi dan orang-orang shaleh, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.

c) Syirik, yaitu apabila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta hajat, memohon pertolongan kepada mereka, dsb. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).

Penjelasan:

No. 33: Gaib artinya sesuatu yang tersembunyi bagi manusia berupa perkara-perkara di masa yang akan datang, perkara-perkara yang telah lalu dan apa saja yang tidak mereka lihat. Tidak ada yang mengetahui yang gaib selain Allah sendiri. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah...dst.” (Terj. An Naml: 65)

Oleh karena itu meyakini bahwa selain Allah ada pula yang mengetahui perkara gaib sama saja menolak Al Qur’an, sehingga hal itu dianggap sebagai sebuah kekafiran.

Namun demikian, terkadang Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperlihatkan kepada rasul yang dikehendaki-Nya sedikit perkara gaib karena hikmah dan maslahat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

”(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu.---Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya...dst.” (Terj. Al Jin: 26-27).

Perlu diketahui, bahwa perkara gaib terbagi dua:

     1. Gaib Nisbiy

Gaib Nisbiy artinya gaib yang relatif, yakni bagi sebagian orang tidak mengetahui, namun bagi yang lain mengetahui.

Contoh gaib nisbiy adalah kita yang berada di sebuah tempat tidak mengetahui apa yang sekarang terjadi di tempat lain, kita tidak mengetahui apakah terjadi kecelakaan atau tidak di tempat lain tersebut? Namun bagi orang-orang yang berada di tempat sana mengetahui hal yang terjadi di sana seperti kecelakaan dsb. Peristiwa yang terjadi di tempat lain itu bagi kita adalah gaib, dan bagi mereka yang berada di sana tidak gaib (bukan gaib). Sehingga gaib ini disebut gaib nisbi (relatif).

     2. Gaib Mutlak

Gaib Mutlak artinya gaib yang tidak siapa pun mengetahuinya selain Allah sendiri. Contoh gaib mutlak adalah seperti yang disebutkan Allah Ta’ala dalam akhir surat Luqman berikut:

 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya saja pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (terj. Luqman: 34)

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui kapan kiamat, kapan turun hujan, apa yang ada dalam rahim, apakah dia akan menjadi orang bahagia atau celaka? Apa yang akan dikerjakan besok dan di mana seseorang akan mati.

No. 34: Ilmu nujum (perbintangan) terbagi dua:

Pertama, Ilmu Ta’tsir, yakni ilmu nujum yang meyakini bahwa bintang-bintang mempunyai pengaruh terhadap keadaan alam semesta atau menjadikan keadaan bintang, planet dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi. Jika dia percaya bahwa keadaan itu adalah faktor yang mempengaruhi mutlak atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi atau percaya bahwa bintang-bintang dengan sendirinya dapat memberi pengaruh, dalam arti bahwa bintang-bintang itu yang mengadakan peristiwa (kejadian) dan keburukan, maka  ia dinyatakan musyrik akbar (murtad). Tetapi jika ia percaya bahwa keadaan itu hanya merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkatan syirk kecil yang mengurangi kesempurnaan tauhid. Perbintangan sesungguhnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di bumi. Anggapan bahwa perbintangan berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa di bumi atau berpengaruh terhadap kepribadian seseorang (seperti dalam zodiak) termasuk berkata sesuatu atas nama Allah Subhaanahu wa Ta'aala tanpa ilmu.

Kedua, Ilmu Tasyir, yaitu menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin, arah kiblat, pengetahuan tentang akhir musim dingin dan panas, letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam shahihnya, bahwa Qatadah berkata, “Allah menciptakan bintang untuk tiga hal; menghias langit, melempar setan-setan dan sebagai rambu-rambu yang dipakai petunjuk arah (dalam perjalanan). Barang siapa yang memalingkan dari hal itu, maka ia telah salah, menyia-nyiakan bagiannya dan membebani diri terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.”

Adapun tentang percaya kepada dukun, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

"Barang siapa mendatangi peramal atau dukun, lalu ia membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada Al Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5939)

Dukun atau dalam bahasa Arab diebut kahin artinya orang yang memberitakan tentang perkara gaib di masa mendatang.

Bertanya kepada peramal atau dukun terdapat perincian sbb:

Pertama, hanya sekedar bertanya. Hal ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

« مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً » .

"Barang siapa mendatangi peramal, lalu bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari." (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa mendatangi dukun dan peramal adalah sebuah dosa yang sangat besar.

Kedua, bertanya dan membenarkan, maka yang demikian adalah kekufuran, karena sama saja membenarkan pengakuannya mengetahui yang gaib, padahal tidak ada yang mengetahui hal gaib selain Allah (lihat surat An Naml: 65), juga berdasarkan hadits yang sudah disebutkan sebelumnya.

Ketiga, bertanya dengan maksud mengetesnya apakah ia benar atau dusta, bukan untuk memegang perkataannya. Hal ini tidak mengapa, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad, "Apa yang kamu sembunyikan?" ia menjawab, "Ad Dukh (dukhan/asap),” maka Beliau bersabda, "Hinalah kamu, sesungguhnya kamu tidak akan dapat melewati batas(kemampuan)mu." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang sesuatu yang disembunyikannya untuk mengetesnya.

Keempat, bertanya untuk menampakkan kelemahannya dan kedustaannya, misalnya  mengetesnya dengan sesuatu yang dapat memperlihatkan kelemahan dan kedustaannya. Hal ini baik sekali, bahkan harus dilakukan, karena membatalkan perkataan para dukun adalah diperintahkan.

No. 35: Wasilah yang disebutkan dalam Al Qur’an surah Al Maa’idah ayat 35 maksudnya adalah melakukan ketaatan yang disyari’atkan. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan tawassul yang bid’ah atau syirk.

Tawassul atau mengadakan perantara terbagi menjadi tiga macam; ada yang disyari’atkan, ada yang bid’ah, dan ada yang termasuk syirk.

Tawassul yang disyari’atkan seperti yang diterangkan di atas adalah menggunakan nama-nama dan sifat-Nya (lihat dalilnya di surah Al A’raaf: 180). Contoh bertawassul dengan nama-Nya adalah mengatakan, “Ya Allah, Engkau adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rezeki), maka karuniakanlah rezeki kepadaku.” Sedangkan contoh bertawassul dengan sifat-Nya adalah mengatakan, “Aku meminta kepada-Mu ya Allah dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu agar Engkau menyayangi dan mengampuniku.”

Contoh tawassul dengan menyebut amal saleh yang dikerjakannya adalah kisah tiga orang yang yang bermalam di gua, tiba-tiba batu besar jatuh menutupi gua tersebut, masing-masing dari mereka pun berdoa dengan menyebutkan amal saleh yang mereka kerjakan (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain).

Contoh tawassul dengan doa orang saleh yang masih hidup adalah sebagaimana yang dilakukan para sahabat, di mana mereka meminta Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar Allah menurunkan hujan kepada mereka. Atau misalnya seseorang berkata kepada seorang ustadz yang saleh, “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan saya di perjalanan.”

Ingat, bahwa tawassul dengan doa orang saleh syarat dibolehkannya adalah jika “masih hidup” dan "ada di hadapan kita". Adapun jika sudah meninggal, maka tidak boleh, karena setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, para sahabat tidak mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan mereka mendatangi paman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abbas bin Abdul Muththalib agar ia berdoa kepada Allah supaya Allah menurunkan hujan (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari).

Adapun contoh tawassul yang bid’ah adalah seperti tawassul dengan menyebut pribadi nabi dan orang-orang saleh, jah (kedudukannya), haknya dan kehormatannya, seperti ucapan “Bijaahin nabi…dst.” (dengan kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), “…bi ahlil badri yaa Allah.” (dengan pribadi para sahabat yang ikut perang Badar, ya Allah) dan semisalnya.

Sedangkan contoh tawassul yang syirk adalah ketika seseorang meminta kepada Allah, dia adakan perantara seperti nabi, wali, orang-orang saleh atau orang-orang yang dianggapnya dekat dengan Allah padahal mereka semua sudah meninggal, sehingga dia meminta dan bertawakkal kepada perantara itu. Hal ini tidak bedanya dengan yang dilakukan kaum musyrikin, di mana mereka menyembah berhala dan patung-patung agar berhala dan patung itu -menurut anggapan mereka- mendekatkan diri mereka kepada Allah (lihat Az Zumar: 3). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kalian menetapkan perantara antara Allah dengan makhluk-Nya seperti hijab antara raja dengan rakyatnya, di mana perantara itu yang akan mengangkat kebutuhan makhluk kepada Allah, dan Allah hanya akan memberi hadiah dan rezeki dengan perantaraan mereka itu. Sehingga manusia meminta kepada mereka (perantara itu), lalu perantara itu meminta kepada Allah sebagaimana halnya perantara di hadapan raja yang akan memintakan kebutuhan manusia karena kedekatan mereka, dan manusia meminta kepada mereka sebagai adab mereka (tidak langsung) meminta kepada raja atau menganggap bahwa permintaan mereka kepada perantara lebih bermanfaat daripada permintaan kepada raja (secara langsung) karena mereka dekat dengan raja daripada orang yang meminta kebutuhan; barang siapa yang menetapkan mereka sebagai perantara seperti ini, maka sesungguhnya ia telah kafir lagi musyrik, wajib dimintai tobatnya. Jika mau (maka dibiarkan), namun jika tidak, maka dibunuh. Mereka telah menyerupakan Allah; menyerupakan makhluk dengan Al Khaliq dan mengadakan tandingan bagi Allah.” (Majmu’ Fatawa 1/126).

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Muhamad wa sallam.

Marwan bin Musa

 

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Ta’liq Ath Thahawiyyah (Syaikh Ibnu Maani’, Ibnu Baz dan Syaikh Al Albani), At Tawassul Anwaa’uhu wa ahkaamuh (Syaikh Al Albani), Syarh Ath Thaawiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan), ’Aqidatut Tauhid (Syaikh Shalih Al Fauzan), Al Qaulul Mufiid (Syaikh Ibnu ’Utsaimin), Al I’laam Bisyarh Nawaaqidhil Islam (Abdul ’Aziz bin Marzuq Ath Thariifiy), dll.