بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan rngkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

DARAH HAIDH

Ta'rif (Pengertian) Haidh

Darah Haidh adalah darah yang dialami wanita sebagai tabiatnya, bukan keluar karena suatu sebab, seperti karena sakit, luka, keguguran, atau melahirkan. Darah tersebut keluar pada waktu-waktu tertentu.

Usia Wanita mengalami Haidh dan Lamanya Haidh

Pada umumnya, wanita mengalami haidh pada usia antara 12 tahun sampai usia 50 tahun. Namun terkadang, wanita sudah mengalami haidh sebelum usia 12 tahun atau sudah berhenti haidh (monopause) sebelum usia 50 tahun tergantung keadaan wanita tersebut, lingkungan, dan iklimnya. Adapun lamanya haidh, maka tidak ditentukan batasannya dalam Al Qur'an dan As Sunnah.

Perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa berhenti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.

Apakah Darah yang keluar dari Wanita Hamil bisa dianggap Haidh?

Sudah menjadi kebiasaan seorang wanita, saat ia akan hamil, darah haidhnya berhenti. Imam Ahmad berkata, "Wanita diketahui hamil dengan berhentinya darah haidh."

Lalu jika seorang wanita hamil melihat darah sebelum melahirkan, dimana jarak antara melahirkan hanya beberapa hari seperti sehari atau dua hari disertai rasa sakit karena melahirkan, maka darah tersebut adalah darah nifas. Namun jika jarak antara melahirkan cukup lama, atau jarak antara melahirkan cukup dekat tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Tetapi apakah darah tersebut dianggap darah haidh sehingga berlaku hukum-hukum haidh atau hanya sebagai darah fasid (rusak) yang tidak dianggap sebagai haidh?

Jawab: Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Yang rajih (kuat) adalah bahwa darah tersebut adalah darah haidh, jika keluar pada waktu-waktu haidh. Hal itu, karena hukum asal darah yang menimpa wanita adalah darah haidh, jika tidak ada sebab yang menghalanginya untuk dihukumi sebagai darah haidh. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.

Oleh karena darah tersebut dihukumi sebagai darah haidh, maka berlaku hukum-hukum haidh kecuali dalam dua masalah:

  1. Talak, yakni diharamkan menalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Hal ini, karena menalak saat haidh ketika tidak hamil menyalahi firman Allah Ta'ala,

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

      "Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[1]." (Terj. Ath Thalaq: 1)

      Adapun mentalak wanita hamil saat ia sedang haidh, maka tidaklah menyelisihi ayat tersebut. Hal itu, karena orang yang mentalak isterinya yang hamil sama saja mentalak untuk menghadapi masa 'iddah secara wajar, baik ia haidh atau suci, karena 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Oleh karena itu, bagi suami tidak haram mentalak isterinya setelah mencampurinya (ketika isteri hamil).

  1. 'Iddah wanita hamil yang haidh tetap sampai melahirkan (lihat QS. At Talaq: 4).

Hal-hal yang Datang menimpa Wanita Haidh di Luar Kebiasaan

Ada beberapa hal yang datang menimpa wanita yang haidh di luar kebiasaan, yaitu :

Pertama, bertambah atau berkurang. Contoh: Seorang wanita biasa menjalani haidh selama enam hari, namun ternyata darah keluar terus hingga tujuh hari. Atau seorang wanita biasa menjalani haidh selama tujuh hari, namun ternyata darah sudah berhenti setelah enam hari.

Kedua, maju atau mundur. Contoh: Seorang wanita biasa menjalani haidh di akhir bulan, namun ternyata ia mendapatkan haidh di awal bulan, atau ia biasa menjalani haidh di awal bulan, namun ternyata ia mendapatkan haidh di akhir bulan.

Dalam kedua hal di atas, para ulama berbeda pendapat. Yang rajih (kuat), jika si wanita melihat darah, maka darah itu adalah darah haidh, dan jika sudah suci, maka ia dianggap suci, baik bertambah dari biasanya maupun berkurang, maju dari biasanya atau malah mundur.

Ketiga, warna kuning atau keruh pada haidh. Maksud "kuning" di sini adalah si wanita melihat darah berwarna kuning seperti darah nanah, sedangkan maksud "keruh" di sini adalah antara kuning dan hitam.

Dalam hal ini, jika warna tersebut ada di tengah-tengah haidh atau bergandengan dengan haidh sebelum suci, maka darah tersebut adalah darah haidh, berlaku padanya hukum haidh. Namun jika darah tersebut keluar setelah suci, maka darah tersebut adalah bukan darah haidh. Ummu 'Athiyyah berkata:

كُنَّا لاَ نَعُدُ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئاً

"Kami tidak menganggap apa-apa terhadap warna kuning dan keruh setelah suci." (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih)

Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits tersebut namun tanpa menyebut perkataan Ummu 'Athiyyah "setelah suci", tetapi ia membuat bab dengan kata-kata "Bab: warna kuning dan keruh pada selain waktu-waktu haidh". Dalam syarahnya, yaitu Fat-hul Bari disebutkan, "Ia (Imam Bukhari) mengisyaratkan demikian untuk menggabung antara hadits Aisyah sebelumnya yakni dalam perkataanya "Sampai kalian melihat (semacam) lendir putih" dengan hadits Ummu 'Athiyyah yang disebutkan dalam bab tersebut, bahwa hadits Aisyah itu diberlakukan apabila si wanita melihat warna kuning dan keruh di waktu-waktu haidh, adapun jika selain itu, maka seperti apa yang dikatakan Ummu 'Athiyyah."

Adapun hadits Aisyah yang diisyaratkan tersebut adalah hadits yang disebutkan tanpa sanad oleh Imam Bukhari dengan memastikan kebenaran riwayat tersebut sebelum bab itu, yaitu bahwa kaum wanta mengirimkan kepada Aisyah sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata, "Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat lendir putih". (Shahih Bukhari di Kitabul haidh)

Lendir putih ini keluar dari rahim setelah haidh berhenti.

Keempat, haidh terputus-putus. Maksud terputus-putus di sini adalah si wanita hari ini melihat darah dan besok sudah bersih, maka dalam hal ini ada dua keadaan:

Keadaan pertama, keadaan seperti ini ada pada si wanita tersebut terus-menerus di setiap waktunya, maka darah tersebut adalah darah istihadhah (penyakit), di mana berlaku baginya hukum darah istihadhah.

Keadaan kedua, tidak selalu ada pada si wanita, bahkan hanya sebagian waktu saja menimpa hal itu, dan si wanita mempunyai waktu sucinya yang sesungguhnya. Maka dalam hal ini, para ulama berselisih, apakah bersihnya itu dianggap telah suci atau dihukumi dengan hukum haidh?

Jawab : Imam Syafi'i dalam salah satu pendapatnya yang shahih berpendapat bahwa si wanita tersebut dihukumi dengan hukum haidh, ini pula yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penyusun Al Fa'iq dan menjadi madzhab Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih. Kalau pun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tidak ada seorang pun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal syari'at tidaklah menyulitkan. Walhamdulillah.

Sedangkan yang masyhur dalam madzhab ulama Hanbali adalah bahwa darah yang ada adalah haidh, dan jika bersih, maka dianggap suci kecuali jika keduanya melewati jumlah maksimal masa haid, sehingga darah yang melewatinya adalah darah istihadhah. Dalam Al Mughniy disebutkan, "Tampaknya mengatakan bahwa darah yang berhenti jika kurang dari sehari bukan suci lebih mengarah, hal ini didasari oleh riwayat yang telah kami sebutkan tentang nifas, yakni si wanita tidak perlu memperhatikan jika kurang dari sehari, inilah yang shahih insya Allah. Hal itu, karena dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar-sekali tidak) jika diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (Terj. QS. Al Hajj: 78)

Dengan demikian, berhentinya darah yang kurang dari sehari tidaklah dianggap suci kecuali jika si wanita melihat sesuatu yang menunjukkan sucinya, misalnya berhentinya darah di akhir hari haidhnya atau ia melihat lendir putih.

Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni tersebut merupakan pendapat pertengahan di antara kedua pendapat di atas.

Kelima, terjadi pengeringan darah, yakni si wanita hanya melihat basah. jika di tengah-tengah haidh atau bergandengan dengan haidh sebelum suci, maka hal itu adalah haidh. Namun jika telah suci, maka bukan haidh, karena keadaannya dihubungkan dengan keadaan ketika darah berwarna kuning dan keruh, di mana dalam hal ini berlaku hukumnya.

Bersambung...

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’: Risalah fid Dima Ath Thabi’iyyah (Syaikh Ibnu Utsaimin), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

 

[1] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri.