بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul ‘aalamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:

Mandi dalam bahasa Arab disebut Al Ghusl, yang artinya meratakan air ke seluruh badan. Hukumnya masyru’ (disyariatkan) sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan jika kamu junub, maka mandilah,” (Al Maa’idah: 6)

Ada beberapa pembahasan seputar mandi, sebagaimana yang kami sebutkan di bawah ini:

I. Hal yang mengharuskan Mandi

Hal-hal yang mengharuskan mandi adalah :

a. Keluar mani ketika sadar atau ketika tidur. Namun ketika sadar, disyaratkan keluarnya dengan syahwat.

Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa Ummu Sulaim berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ ؟ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم :« إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ » .

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak merasa malu menerangkan kebenaran, maka apakah wanita harus mandi ketika mimpi?” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila dia melihat air (mani).” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

Adapun dalil disyaratkan ketika sadar keluarnya dengan syahwat adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنْ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفًا فَلَا تَغْتَسِلْ

“Apabila engkau keluarkan mani dengan tekanan, maka mandilah karena janabat. Namun jika tidak dengan tekanan, maka jangan mandi.” (Isnadnya hasan shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, lihat Al Irwa’ 1/162)

Faedah :

Barang siapa bermimpi, namun ia tidak menemukan basah pada kemaluannya, maka ia tidak perlu mandi, namun barang siapa yang menemukan basah pada kemaluannya, tetapi ia tidak ingat bermimpi, maka ia harus mandi. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menemukan basah pada kemaluannya namun ia tidak ingat bermimpi, maka Beliau bersabda, “(Hendaknya) ia mandi.” Demikian pula Beliau ditanya tentang seorang yang merasa dirinya bermimpi, tetapi tidak menemukan basah pada kemaluannya, Beliau bersabda, “Ia tidak perlu mandi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Shahih Abu Dawud 216).

b. Berjima’ meskipun tidak keluar mani.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Apabila seseorang duduk di antara cabangnya yang empat (kedua tangan dan kedua kaki), khitan pun bersentuhan dengan khitan, maka wajib mandi.” (HR. Muslim)

c. Orang Kafir masuk Islam.

Dari Qais bin ‘Ashim, bahwa ia masuk Islam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air yang bercampur daun bidara. (Shahih, HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Abu Dawud, lihat Al Irwa’ 128)

d. Selesai Haidh dan Nifas.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي

“Apabila datang haidh, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila telah hilang haidh, maka mandi dan shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun Nifas, maka sama seperti Haidh berdasarkan Ijma’.

II. Rukun Mandi

Rukun mandi ada dua :

a. Niat di hati (tanpa diucapkan).

berdasarkan hadits, “Innamal a’maalu bin niyyaat.” (artinya: Amal itu tergantung niat).

b. Meratakan air ke seluruh badan.

Dengan demikian, seseorang telah dikatakan mandi ketika telah berniat untuk mandi junub dan meratakan air ke seluruh badan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari di bab Ash Sha’iiduth Thayyib wadhuu’ul muslim yang menyebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat sedang bersafar dan mereka kesiangan, akhirnya mereka shalat Subuh ketika matahari telah naik. Selesai shalat, ada seorang yang mengasingkan diri dan tidak ikut shalat bersama Beliau, lalu Beliau bertanya, “Apa yang menghalangimu wahai fulan untuk shalat bersama orang-orang?” Ia menjawab, “Aku tertimpa janabat dan tidak ada air.” Maka Beliau menyuruhnya bertayammum. Setelah ada air, Beliau memberikan air kepada orang yang junub tersebut dan bersabda:

اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ

“Pergilah dan tuangkanlah air itu kepada dirimu.”

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu ketika ia mandi. Hal ini menunjukkan, bahwa dengan seseorang meratakan air ke seluruh badannya, maka berarti ia telah mandi. Namun demikian, disukai mandinya seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana akan diterangkan setelah ini, insya Allah.

III. Sifat (cara) yang dianjurkan

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mandi junub, Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu menuangkan air dengan tangan kanannya ke atas tangan tangan kirinya, kemudian membasuh kemaluannya, lalu berwudhu’, kemudian mengambil air dan memasukkan jari-jarinya ke pangkal rambutnya kemudian menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali tuangan, lalu meratakan air ke seluruh badan kemudian membasuh kedua kakinya.” (Muttafaq ‘alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim) Dalam sebuah riwayat milik keduanya (Bukhari dan Muslim) disebutkan:

ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Kemudian Beliau menyela-nyela rambutnya dengan tangannya, sehingga ketika Beliau telah merasa membasahi kulit(kepala)nya, maka Beliau menuangkan air ke atasnya tiga kali, lalu Beliau membasuh ke seluruh badannya.”

Dalam riwayat milik keduanya pula dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَىْءٍ نَحْوَ الْحِلاَبِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الأَيْمَنِ ثُمَّ الأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ . 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mandi karena janabat, meminta dibawakan sesuatu yang mirip bejana (berisi air), lalu memasukkan telapak tangannya dan memulai (menyela-nyela) bagian kepala yang kanan, lalu yang kiri, kemudian mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menuangkannya ke kepalanya.”

Dari Maimunah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Aku pernah menyiapkan air untuk mandi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu aku menuangkan ke kedua tangannya dan Beliau mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Selanjuntnya, Beliau menuangkan air ke tangan kirinya dan membasuh kemaluannya, kemudian menggosok tangannya ke tanah, lalu berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, kemudian membasuh muka dan kedua tangannya, lalu membasuh kepalanya tiga kali. Selanjutnya Beliau menuangkan air ke seluruh badannya, lalu bergeser dari tempatnya dan mencuci kedua kakinya.” Maimunah berkata, “Lalu aku membawakan sebuah kain kepadanya, namun Beliau tidak menginginkannya, dan Beliau mengeringkan air dengan tangannya.” (HR. Jamaah)

Kesimpulan cara mandi yang dianjurkan berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya adalah sebagai berikut:

  1. Berniat di hati.
  2. Membaca Bismillah.
  3. Mencuci kedua telapak tangannya tiga kali. Lihat hadits di atas.
  4. Mencuci farji(kemaluan)nya dengan tangan kirinya dan menghilangkan kotoran yang menempelnya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah dan Maimunah.
  5. Membersihkan tangan kirinya ke lantai, menggosok-gosoknya dan mencucinya (HR. Bukhari di Al Fat-h 1/368 no. 257 dan 259, dan Muslim 1/254 no. 317), atau menggosoknya ke dinding dan mencucinya (HR. Bukhari di Al Fat-h 1/372 no. 260 dan 274), atau mencucinya dengan air dan sabun.
  6. Berwudhu’ secara sempurna seperti wudhu’ untuk shalat (berdasarkan hadits Aisyah), namun ia boleh menunda membasuh kaki setelah mandi selesai (berdasarkan hadits Maimunah).
  7. Memasukkan jari-jari ke dalam air, lalu menyela-nyela rambut agar air masuk ke pangkalnya, kemudian menuangkan air ke kepalanya tiga kali (Berdasarkan hadits Maimunah dan Aisyah radhiyallahu 'anhuma, diriwayatkan oleh Bukhari di Al Fat-h 1/360 no. 248 dan 383, Muslim 1/253 no. 316 dan 317). Ia memulai dengan bagian kepala sebelah kanan, lalu sebelah kiri, kemudian pertengahan berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Bukhari di Al Fat-h 1/369 no. 258 dan 1/834 no. 377, Muslim 1/255 no. 318, dan berdasarkan hadits Jabir di Bukhari dalam Al Fat-h 1/367 no. 255 dan 256, Muslim 1/259 no. 329, serta berdasarkan hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu 'anhu di Bukhari dalam Al Fat-h 1/367 no. 254 dan Muslim 1/258 no. 327).

Catatan :

- Bagi wanita tidak wajib membuka jalinan rambutnya karena mandi janabat. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seorang wanita yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mengikat jalinan rambutku, maka apakah aku harus melepasnya karena janabat?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya cukup bagimu menuangkan ke kepalamu tiga kali tuangan air, lalu kamu ratakan ke seluruh badanmu. Dengan demikian, engkau telah suci.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan Shahih.”)

Tetapi wajib membukanya ketika mandi dari haidh berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha. Namun yang lain berpendapat hal itu sunat, seperti Syaikh Ibnu Baz dan muridnya Dr. Sa’id Al Qahthaniy.

- Dianjurkan bagi wanita apabila mandi karena selesai haidh atau nifas mengambi kapas dengan membubuhi wewangian, lalu mengusap bagian yang terkena darah agar bagian tersebut tidak bau. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Asma’ binti Yazid pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi haidh, maka Beliau bersabda, “Salah seorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara, lalu berwudhu dan memperbagus wudhu’nya, kemudian menuangkan (air) ke atas kepalanya, lalu menggosoknya dengan keras sampai masuk pangkal rambutnya, lalu menuang air ke atasnya, kemudian ia mengambil kapas yang diberi wewangian dan bersih-bersih dengannya.” (HR. Jamaah selain Tirmidzi)

  1. Menuangkan air ke seluruh badan dengan mendahulukan bagian yang kanan, lalu yang kiri, dengan memperhatikan dua ketiak, lipatan anggota badan, pusar, pangkal paha, serta menggosok bagian badan yang mungkin digosok. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, yang di sana disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh maraafi’nya, yaitu pangkal-pangkal lipatan tubuh (HR. Abu Dawud no. 243, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/48).
  2. Berpindah dari tempatnya, lalu membasuh kakinya (berdasarkan hadits Maimunah). Lebih utama mengeringkan anggota badannya dengan tangan berdasarkan hadits Maimunah.
  3. Sebaiknya irit ketika mandi. Anas radhiyallahu 'anhu berkata, “Mabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu’ dengan satu mud[i] dan mandi dengan satu sha’ (4 mud) sampai 5 mud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Aisyah radhiyallahu 'anha pernah menerangkan, bahwa ia pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu wadah yang cukup untuk tiga mud atau mendekatinya. (HR. Muslim).

 

IV. Larangan bagi yang Junub

Bagi yang junub dilarang melakukan hal-hal berikut:

a. Shalat (lihat surah An Nisaa’: 43).

b. Thawaf di Baitullah.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

..اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَة

“Thawaf di Baitullah adalah shalat…dst.”

(HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Nasa’i 2/614, Shahih At Tirmidzi 1/283 dan Irwaa’ul Ghalil 1/154).

c. Menyentuh Mushaf.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Amr bin Hazm, Hakim bin Hizam dan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum :

لاَ يَمُسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali yang suci.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’ 1/199, Daruquthni 1/122 dan Hakim 1/397, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani karena syawahidnya dari hadits Hakim dan Ibnu Umar, lihat Irwaa’ul Ghalil 1/158, At Talkhishul Habiir oleh Ibnu Hajar 1/131 dan Asy Syarhul Mumti’ 1/261)

d. Membaca Al-Qur’an.

Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata:“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan Al Qur’an kepada kami dalam setiap keadaan selama tidak dalam keadaan junub.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Ahmad dan lainnya. Al Haafizh dalam At Talkhishul Habir 1/139 berkata, “Dishahihkan oleh Ibnus Sakan, Abdul Haq, dan Al Baghawiy.” Syaikh Ibnu Baz dalam syarahnya terhadap Bulughul Maram pada hadits no. 124 berkata, “Hadits hasan, dan ia memiliki beberapa syahid.” Namun Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dha’if As Sunan, lihat Al Irwaa' ( 485), wallahu a’lam).

e. Berdiam di Masjid, (lihat surah An Nisaa’: 43)[ii].

V. Mandi yang Sunnah

1. Mandi Ihram.

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melepaskan pakaiannya untuk ihlalnya dan melakukan mandi.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 1/250).

2. . Mandi Hari Jum’at.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ 

“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ, وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu’ pada hari Jum’at maka ia telah kerjakan yang wajibnya dan hal itu baik, dan barangsiapa yang mandi maka mandi itu lebih utama.” (Diriwayatkan oleh lima orang, dihasankan oleh Tirmidzi, dan dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/72).

Para ulama berbeda pendapat tentang mandi Jum’at, apakah wajib atau sunat? Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunat mu’akkad (yang ditekankan), dan ada pula yang merincikan dengan mengatakan, bahwa mandi Jum’at itu wajib bagi para pekerja berat yang biasanya berkeringat, adapun selain mereka, maka hukumnya sunat. Namun pendapat ini lemah, yang rajih –insya Allah- bahwa mandi Jum’at hukumnya sunat mu’akkad. Pendapat ini dipegang oleh Syaikh Ibnu Baz. Adapun sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap yang baligh.”  Maka maksudnya menurut kebanyakan ahli ilmu adalah sangat ditekankan. Makna ini diperkuat oleh cukupnya Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu’ dalam sebagian hadits. Demikian pula memakai wewangian, bersiwak, memakai pakaian yang indah adalah termasuk sunat yang dianjurkan dan tidak wajib.

3. Mandi ketika masuk ke Makkah.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa ia tidak tiba di Makkah, kecuali bermalam di Dzi Thuwa sampai pagi hari, lalu mandi, dan ia menyebutkan bahwa hal itu berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Mandi untuk setiap kali Jima’.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Raafi’, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari pernah mengelilingi istri-istrinya, dimana Beliau mandi di istri yang ini dan yang itu. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa engkau tidak jadikan sekali mandi?” Beliau menjawab, “Ini lebih suci dan lebih baik.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Thabrani, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/43).

5. Mandi sehabis memandikan Mayit.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ

“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi.” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1195).

6. Mandi karena menguburkan Orang Musyrik.

Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika Abu Thalib meninggal, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyruh Ali menguburkannya. Setelah ia menguburkannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mandi.” (Shahih isnadnya, HR. Nasa’i dan Abu Dawud, lihat Ahkaamul Janaa’iz 134)

7. Mandi untuk Wanita yang istihadhah untuk setiap kali Shalat.

Hal ini berdasarkan hadits Ummu Habibah. Atau ketika menggabung antara dua shalat dengan jama’ shuriy (dengan menta’khirkan shalat yang satu dan mengedapankan shalat berikutnya). Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku pernah terkena darah istihadhah yang banyak sekali, lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta penjelasannya, maka Beliau menjawab, “Itu tidak lain gangguan dari setan, maka cukup kamu merasakan haid selama 6 hari atau 7 hari, lalu mandilah, apabila telah bersih shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah karena hal itu cukup buatmu. Juga lakukanlah (perkirakan masa) haidmu seperti haidnya wanita yang lain, apabila kamu sanggup menta’khirkan shalat Zhuhur dan mengedepankan shalat ‘Ashar lalu mandi ketika bersih kemudian kamu shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan dijama’ (maka lakukanlah), juga kamu sanggup menta’khirkan shalat Maghrib dan mengedepankan shalat Isya lalu mandi dan menggabungkan kedua shalat itu maka lakukanlah. Dan ketika Subuh kamu mandi lalu shalat,” Beliau melanjutkan sabdanya, “Itulah hal yang paling aku sukai di antara dua cara.” (Diriwayatkan oleh lima orang selain Nasa’i, dan dishahihkan oleh Tirmidzi serta dihasankan oleh Bukhari).

Catatan : Yang wajib bagi wanita yang istihadhah setelah selesai dari kebiasaan haidhnya adalah mandi, selanjutnya mandi menjadi sunat, yang wajib adalah berwudhu’.

8. Mandi setelah pingsan.

Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sakit dan para sahabat menunggu Beliau untuk mengimami, maka Beliau meminta disiapkan  air untuk mandi, setelah mandi Beliau pingsan, ketika sadar, Beliau mandi lagi, dst. (Lihat di Bukhari dalam Al Fat-h no. 687 dan Muslim no. 418)

9. Mandi pada Hari Raya.

Baihaqi meriwayatkan dari jalan Syafi’i dari Zaadzaan ia berkata: Ada seorang yang bertanya kepada Ali tentang mandi?” Ia menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia berkata lagi, “Bukan itu, maksudnya adalah mandi (yang sesungguhnya)?” Ia menjawab, “Hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari Nahar dan hari Fitri.” (Syaikh Al Albani berkata dalam Irwa’ul Ghalil, “Dan sanadnya shahih,” yakni mauquf sampai kepada Ali radhiyallahu 'anhu) Sa’id bin Musayyib berkata, “Sunnah Idul Fithri ada tiga; berjalan ke tanah lapang, makan sebelum keluar dan mandi.” (Al Irwaa’ 3/104).

10. Mandi pada hari Arafah, yakni bagi Jamaah Haji.

VI. Beberapa masalah yang terkait dengan Mandi (Fiqh As-Sunnah hal. 52-53)

1. Cukup satu kali mandi untuk haidh dan janabat, atau untuk shalat ‘Ied dan shalat Jum’at, atau untuk janabat dan Jum’at, dan ketika ia meniatkan semuanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wa innamaa likullim rim maa nawaa.” (artinya: seorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan).

2. Apabila telah mandi janabat dan belum berwudhu’, maka mandi dapat menduduki posisi wudhu’, karena Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berwudhu’ setelah mandi (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih keduanya). Bahkan ketika ada seorang yang datang kepada Ibnu Umar mengatakan, bahwa dirinya berwudhu’ setelah mandi, maka Ibnu Umar berkata kepadanya,“Engkau telah berlebihan.”

3. Boleh bagi orang yang junub dan haidh untuk memotong rambut, menggunting kukunya, keluar ke pasar, dsb. ‘Athaa’ berkata, “Orang junub (boleh) berbekam, menggunting kukunya dan mencukur rambutnya meskipun belum berwudhu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)

4. Boleh bagi seorang laki-laki mandi bekas air yang dipakai istrinya. Demikian pula sebaliknya. Ibnu Abbas berkata: Sebagian istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mandi dalam sebuah wadah besar, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk berwudhu’ atau mandi darinya, maka istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku junub.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak junub.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Tormidzi dan ia berkata, “Hasan shahih.”)

5. Tidak boleh mandi telanjang di tengah-tengah manusia, karena membuka aurat hukumnya haram, kecuali jika jauh dari manusia, maka tidak mengapa. Demikian pula diperbolehkan mandi meskipun di tengah-tengah manusia jika ia menutup dirinya dengan kain atau semisalnya. Hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi, sedangkan Fathimah menutupi Beliau dengan kain.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.

 

Marwan bin Musa

Maraaji’ : Al Wajiiz fii Fiqhis sunnati wal kitaabil ‘Aziz (Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi), Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Risalah fil wudhu’ wal ghusli wash shalaah (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Thahurul Muslim (Syaikh Sa’id Al Qahthaniy) dll. 

 

[i] Satu Mud adalah satu kaupan tangan orang dewasa yang sedang, atau jika berupa takaran seukuran kurang lebih 6 ons.

[ii] Namun jika seseorang berwudhu sebelumnya, maka boleh baginya berdiam di masjid. Hal ini berdasarkan praktek para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atha’ berkata, “Aku melihat beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (di masjid) sedangkan mereka junub, yaitu ketika mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk shalat.”

Di samping itu, wudhu juga dapat meringankan hadats.