بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Sebelumnya telah disebutkan tatacara umrah, dan untuk kali ini kami sebutkan tatacara haji.

Tatacara Haji Tamattu’

     2. Haji

Rukunnya: ihram, wuquf di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah, thawaf ifadhah, dan sa’i antara Shafa dan Marwah.

     A. Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)

Di waktu Duha hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), hendaknya seorang muslim berihram untuk haji tamattu’ dari tempat di mana dia berada (seperti di hotel). Ketika ihram haji, dia melakukan hal-hal yang sama ketika ihram untuk umrah, seperti mandi, mewangikan badannya, bersih-bersih dst. (lihat tentang umrah).

Selanjutnya seorang muslim berniat di hatinya untuk masuk ke dalam ibadah haji dan disyariatkan mengucapkan ”Labbaikallahumma hajjan.”

Setelah itu ia pergi menuju Mina dan tinggal di sana, dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh pada waktunya masing-masing namun untuk shalat yang berjumlah empat rakaat diqashar menjadi dua rakaat.

     B. Hari Arafah (9 Dzulhijjah)

Ketika terbit matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah, yaitu pada hari ‘Arafah, maka ia pergi menuju Arafah dan dianjurkan baginya singgah di Namirah (Namirah tidak termasuk ‘padang ‘Arafah) hingga Zuhur. Setelah itu imamatau yang mewakilinya berkhutbah dengan khutbah yang sesuai dengan keadaan saat itu, ia (imam) menerangkan kepada jamaah haji amal apa saja yang disyariatkan bagi jamaah haji pada hari tersebut dan hari setelahnya.

Setelah mendengarkan khutbah di Namirah, ia shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan diqashar dan dijama’ taqdim (di waktu Zhuhur). Kemudian memulai wuquf di Arafah. Semua padang Arafah adalah tempat wuquf selain lembah Uranah. Namun demikian, dianjurkan bagi seseorang untuk berwuquf di belakang jabal ‘Arafah (bukit Arafah)[i] menghadap ke kiblat, karena ia adalah tempat wuquf Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu jika memang memungkinkan.

Saat wuquf, hendaknya ia serius dalam berdzikr dan berdoa  Di antara dzikr yang dianjurkan pada hari itu adalah ucapan:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dianjurkan bagi seorang yang berhaji wuquf di atas kendaraannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwuquf di atas untanya. Untuk zaman kita ini, mobil sama seperti hewan kendaraan sehingga ia bisa menaiki mobilnya, kecuali jika tampaknya turun dari mobil lebih khusyu’.

Catatan:

Perlu diketahui, bagi orang yang naik haji tidak diperbolehkan meninggalkan ‘Arafah  menuju Muzdalifah sebelum matahari tenggelam.

Setelah matahari tenggelam, maka ia menuju Muzdalifah dengan tenang sambil memperbanyak talbiyah di jalan.

Ketika sampai di Muzfdalifah, maka ia shalat Maghrib tiga rakaat dan Isya dua rakaat dengan dijama’, yaitu dengan satu kali azan dan dua kali iqamat. Hal ini jika sampai langsung di Muzdalifah tidak terlambat. Namun jika belum sampai di Muzdalifah diperkirakan setelah tengah malam, maka hendaknya ia shalat Maghrib dan Isya di jalan saja agar tidak habis waktu Isya.

     C. Hari Haji Akbar (10 Dzulhijjah)

Selanjutnya, ia bermalam di Muzdalifah sampai shalat Subuh di sana, dan disunahkan baginya naik berwuquf di Masy’aril Haram (bukit di Muzdalifah) menghadap ke kiblat dengan memperbanyak dzikrullah dan berdoa sambil mengangkat kedua tangan sampai suasana terang. Ia pun hendaknyamemungut tujuh buah batu kecil[ii] untuk melempar jamrah ‘Aqabah nanti.

Catatan:

- Jika ia membawa kaum wanita atau orang-orang yang lemah, maka tidak mengapa meninggalkan Muzdalifah menuju Mina ketika telah berlalu kira-kira 2/3 malam.

- Muzdalifah merupakan tempat untuk berwuquf, akan tetapi disunnahkan berwuquf di Masy’aril Haram sebagaimana diterangkan sebelumnya.

Setelah itu, ia pergi ke Mina sambil memperbanyak talbiyah ketika di jalan dan hendaknya ia mempercepat jalannya ketika berada di lembah Muhassir, lalu ia menuju Jamrah Kubra (Jamrah ‘Aqabah) untuk melemparnya dengan tujuh buah batu. Ukuran batunya kira-kira seukuran kacang.

Selanjutnya ia angkat tangannya untuk melempar jamrah sambil mengucapkan, “Allahu akbar” dan dianjurkan ketika melemparnya ia menjadikan kota Makkah di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya karena pratek Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu.

Batu yang dilempar harus jatuh ke dalam lubang, namun tidak mengapa jika setelah masuk lalu mental keluar, adapun jika dilempar ke tiang yang tegak itu namun batunya tidak jatuh ke dalam lubang, maka belum cukup.

Setelah selesai melempar, maka ia  (yang berasal dari luar tanah haram) menyembelih hadyunya dan dianjurkan baginya untuk makan darinya, menghadiahkan dan menyedekahkannya. Waktu menyembelih ini berlangsung sampai tenggelam matahari akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dan boleh menyembelih di malam hari, akan tetapi lebih utama menyembelihnya segera setelah melempar Jamrah ‘Aqabah pada hari raya (10 Dzulhijjah) karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan seperti itu. Jika ia tidak memperoleh hadyu, maka ia berpuasa 3 hari ketika haji, dan dianjurkan pada tanggal 11, 12, dan 13, serta 7 hari ketika ia pulang ke kampung halamannya.

Setelah selesai menyembelih, maka ia mencukur gundul rambutnya atau memendekkannya, dan saat ini telah dihalalkan bagi orang yang berhaji segala sesuatu yang sebelumnya haram ketika ihram selain wanita. Hal ini disebut juga tahallul awwal.

Selanjutnya -setelah ia memakai minyak wangi- ia menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah tanpa perlu beridhthiba’ (terbuka pundak kanan) dan tanpa perlu raml (jalan cepat dengan langkah pendek) pada tiga putaran pertama, lalu shalatlah dua rak’at. Setelah thawaf, ia melakukan sa’i haji tamattu’.

Jika ia telah melakukan thawaf ifaadhah dan sa’i hajji, maka berarti ia telah tahallul secara sempurna (telah halal secara sempurna yang sebelumnya haram di waktu ihram).

     D. Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah)

Setelah itu ia pulang ke Mina untuk menetap di sana pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah berikut malamnya jika ia ingin segera pulang, dan dibolehkan keluar dari Mina sebelum matahari terbenam (disebut Nafar Awwal).

Atau ia menetap di sana sampai dengan tanggal 13 Dzulhijjah berikut malamnya, dan ini lebih utama (disebut Nafar Awwal).

Pada hari-hari itu, ia melempar jamrah yang tiga setelah matahari terbit dimulai dari jamrah shughra, selanjutnya wustha dan kemudian kubra (‘Aqabah) dengan tujuh buah batu untuk setiap jamrah sambil bertakbir ketika melemparnya.

Disunahkan baginya setelah melempar jamrah shugra untuk maju ke depan lalu menghadap ke kiblat dan berdoa dengan doa yang panjang sambil mengangkat kedua tangannya. Demikian pula disunahkan setelah melempar jamrah wustha untuk maju ke depan dan menjadikan jamrah wustha di sebelah kanannya dan menghadap ke kiblat serta berdoa dengan doa yang panjang sambil mengangkat kedua tangannya. Adapun untuk jamrah Kubra, maka setelah melempar, tidak perlu berdiri dan berdoa setelahnya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan seperti itu.

Setelah seseorang mengerjakan ibadah hajinya dan berniat ingin pulang ke kampungnya, maka ia wajib melakukan thawaf perpisahan atau yang dikenal dengan thawaf wadaa’, setelah itu ia pulang meninggalkan Mekah. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas, “Manusia diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah, namun diberi keringanan bagi wanita yang haidh.” (Muttafaq ‘alaih) Oleh karena itu, wanita haidh dan nifas tidak wajib thawaf wada’.

Beberapa Masalah yang perlu diketahui

a) Anak kecil sah jika berhaji meskipun belum baligh, akan tetapi kewajiban hajinya belum gugur, sehingga jika ia sudah baligh, maka ia wajib berhaji lagi.

b) Wali bagi anak kecil boleh yang melakukan sebagian pekerjaan haji jika anak itu tidak sanggup melakukannya, seperti melempar jamrah, dsb.

c) Wanita haidh tetap melakukan semua pekerjaan haji, tetapi ia tidak berthawaf di Baitullah kecuali apabila haidhnya telah berhenti dan telah mandi, demikian juga wanita yang nifas.

d) Wanita diperbolehkan mengkonsumsi pil-pil pencegah haidh agar tidak datang haidhnya ketika melaksanakan ibadah haji.

e) Boleh melemparkan batu untuk menggantikan orang tua yang lemah dan wanita jika mereka kesulitan melakukannya. Namun hendaknya, wakil ini memulai melempar jamrah untuk dirinya baru kemudian untuk orang yang dia wakili. Demikian juga dalam semua jamrah.

f) Boleh menjadi badal haji bagi orang yang suda tua atau yang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, namun dengan syarat ia telah berhaji untuk dirinya.

Beberapa Larangan ketika Ihram

Larangan ketika ihram adalah sebagai berikut:

a. Memakai pakaian yang dijahit membentuk tubuh, seperti kemeja, gamis, jubah, koko, rompi dsb. (ini untuk laki-laki).

b. Memakai penutup kepala, seperti sorban, peci dsb.

c. Memakai wangi-wangian baik di badan atau di pakaian.

d. Menggunting kuku (baik kuku tangan maupun kuku kaki), menghilangkan rambut[iii] baik dengan dicukur maupun dengan digunting (baik rambutnya sendiri maupun rambut orang lain).

e. Jima’ (hubungan suami-istri)[iv].

f. Pendorong jima’ seperti merayu, mencumbu, mencium dan memandang dengan penuh syahwat (meskipun tidak sampai melakukan jima')[v].

g. Membunuh binatang buruan darat[vi].

h. Melamar dan melakukan ‘akad nikah (baik menikahkan maupun menikahi/melakukan ‘akad nikah).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

 

Maraji’ : Shifatul Haj (muraja’ah Syaikh Abdullah Al Jibrin), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza’iriy),  dll.

 

[i] Sebagian orang menyebutnya dengan jabal rahmah, namun yang benar adalah jabal ‘Arafah, dan ia tidak memiliki keistimewaan tertentu daripada bagian yang lain di padang ‘Arafah. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak perlu menaikinya atau bertabarruk dengan batu-batu di sana sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil (tidak tahu).

[ii] Memungut batu untuk melempar jamrah ini bisa di mana saja, tidak mesti di Muzdalifah.

[iii] Namun tidak mengapa menghilangkan rambut jika merasa terganggu dengannya, tetapi wajib membayar dam fidyah sebagaimana dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah ketika ditemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah dalam keadaan ihram ada banyak kutu di kepalanya sampai mengenai wajahnya, Beliau bertanya kepadanya, “Apa binatang kecil (kutu) ini mengganggumu?” Ia menjawab,”Ya", maka Beliau bersabda, “Cukurlah rambutmu atau berilah makan satu farq (3 sha’) kepada 6 orang miskin (yakni seorang miskin mendapat ½ sha’/ 1 ½ kg), atau puasa tiga hari atau menyembelih satu sembelihan (yakni kambing).” (HR. Bukhari-Muslim). Dam fidyah juga wajib bagi yang mengerjakan larangan ihram yang berupa memakai penutup kepala, menggunting kuku, memakai minyak wangi dan memakai pakaian yang dijahit sesuai bentuk tubuh (lihat Minhaajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iri). Namun apabila melakukan hal itu karena lupa atau tidak mengetahui hukumnya maka ia tidak dikenakan dam fidyah.

[iv] Bagi yang melakukannya hajinya batal. Hanyasaja ia tetap menyelesaikan pekerjaan hajinya sampai selesai, dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta, jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa 10 hari, dan ia wajib mengqadha’ di tahun yang akan datang.

[v] Jika dilakukan maka dendanya adalah menyembeli seeekor kambing, atau berpuasa selama tiga hari atau memberi makan 6 orang miskin.

[vi] Bagi yang melakukannya baik sengaja atau lupa, maka ia harus mengganti dengan binatang ternak (unta, sapi atau kambing) seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya menurut keputusan dua orang yang adil (lihat Al Ma’idah: 95) dengan melihat fisik hewan yang dibunuh itu, lalu disembelih di tanah haram dan dagingnya dibagikan kepada fakir-miskin di tanah haram. Tetapi Jika tidak ada binatang yang dipakai untuk denda maka diuangkan berapa kira-kira harga binatang ternak yang dijadikan dam jazaa’ itu, lalu dengan uang yang senilai dengan binatang ternak itu, dibelikan makanan kemudian disedekahkan kepada orang miskin (masing-masing orang miskin mendapat satu mud atau kira-kira 6 ½ ons dari makanan itu), jika tidak mampu maka dengan berpuasa. Misalnya, jika menurut keputusan dua orang yang adil ia wajib menyembelih seekor kambing, namun ia tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan enam orang miskin. Jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa tiga hari. Jika ia ternyata wajib menyembelih seekor sapi, tetapi tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan dua puluh orang miskin, dan jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa dua puluh hari. Jika ia menurut keputusan dua orang yang adil wajib menyembelih seekor unta. Namun tidak memperolehnya, maka dengan memberi makan 30 orang miskin, dan jika tidak memperolehnya, maka dengan berpuasa selama tiga puluh hari.”