بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan pembahasan fiqih darah kebiasaan wanita yang kami ringkas dari Risalah fid dima’ ath thabi’iyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, semoga Allah menjadikan ringkasan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

HUKUM-HUKUM SEPUTAR HAIDH

Ada beberapa hukum yang terkait dengan haidh, di antaranya:

  1. Tentang Shalat

Haram bagi wanita haidh melakukan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat. Demikian juga tidak wajib bagi wanita haidh melakukan shalat, kecuali jika ia mendapatkan seukuran satu rakaat (yang sempurna) dari waktunya. Ketika itu, ia wajib menjalankan shalat, baik ia mendapatkan di awal waktu maupun di akhirnya.

Contoh di awal waktu adalah seorang wanita kedatangan haidh setelah matahari tenggelam seukuran satu rakaat, maka wajib bagi si wanita apabila telah suci mengqadha' shalat Maghrib tersebut, karena ia mendapatkan waktunya seukuran satu rakaat sebelum haidh.

Contoh di akhir waktu adalah seorang wanita suci dari haidh sebelum matahari terbit seukuran satu rakaat, maka wajib bagi si wanita tersebut apabila telah bersuci mengqadha' shalat Subuh, karena ia mendapatkan waktunya seukuran satu rakaat.

Adapun jika wanita haidh mendapatkan waktunya seukuran yang kurang dari satu rakaat, misalnya seorang wanita kedatangan haidh setelah tenggelam matahari seukuran sekejap, atau ia suci –seperti pada contoh kedua- sebelum matahari terbit seukuran sekejap, maka shalat itu tidak wajib baginya.

Ini semua didasari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

"Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah mendapatkan shalat." (Muttafaq 'alaih)

Mafhum hadits ini adalah bahwa jika kurang dari satu rakaat, maka ia belum dianggap mendapatkan shalat.

Kemudian jika seorang mendapatkan satu rakaat waktu shalat 'Ashar, apakah ia harus mengerjakan shalat Zhuhur beserta shalat 'Ashar, atau ia mendapatkan satu rakaat dari waktu shalat Isya terakhir, apakah ia wajib mengerjakan shalat Maghrib beserta shalat Isya?

Jawab: Dalam masalah ini ada khilaf di antara ulama, yang benar adalah tidak wajib bagi wanita melakukan shalat selain waktu yang didapat saja, yaitu shalat 'Ashar saja atau shalat Isya saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

"Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat 'Ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia mendapatkan 'Ashar." (Muttafaq 'alaih)

Pada hadits tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan "maka ia mendapatkan Zhuhur dan 'Ashar" dan tidak menyebutkan wajibnya shalat Zhuhur baginya, di samping itu hukum asalnya adalah bara'atudz dzimmah (lepas kewajiban), inilah madzhab Abu Hanifah dan Malik.

  1. Tentang Dzikr

Adapun dzikr, seperti takbir, tasbih, tahmid, mengucapkan basmalah ketika makan dan lainnya, membaca hadits, fiqh, berdoa dan mengamininya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak mengapa dilakukan oleh wanita haidh. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang disebutkan dalam Shahihain, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersandar ke pangkuan Aisyah, saat Aisyah sedang haidh, Beliau pun membaca Al Qur'an. Demikian juga berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

يُخْرَجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ -يعني إلى صلاة العيدين ـ وَلِيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ وَيَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى

"Hendaknya wanita gadis, wanita yang dipingit, dan wanita yang haidh keluar –yakni untuk menghadiri shalat 'Idain-, dan hendaknya mereka menyaksikan kebaikan, doa kaum muslimin, namun wanita-wanita yang haidh hendaknya menjauhi tempat shalat." (Muttafaq 'alaih)

  1. Tentang Membaca Al Qur'an

Adapun tentang membaca Al Qur'an dalam dirinya, jika hanya memperhatikan dengan mata atau membaca dalam hati tanpa diucapkan, maka tidak mengapa. Misalnya diletakkan Al Qur'an, lalu ia memperhatikan ayat-ayat dan membaca dengan hatinya, maka yang demikian adalah boleh tanpa ada khilaf. Sedangkan membaca Al Qur'an dengan lisan, maka jumhur ulama melarangnya. Namun menurut Imam Bukhari, Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir, hal itu adalah boleh. Bahkan Imam Bukhari menyebutkan secara mu'allaq (tanpa sanad) dari Ibrahim An Nakha'iy bahwa tidak mengapa bagi wanita haidh membaca Al Qur'an.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak ada dasar yang melarangnya, baik dari Al Qur'an dan As Sunnah, karena pernyataan, "Wanita haidh dan junub tidak boleh membaca sesuatu pun dari Al Qur'an" adalah hadits dha'if berdasarkan kesepakatan para Ahli dalam bidang hadits. Jika membaca Al Qur'an haram bagi mereka sebagaimana shalat, tentu hal itu akan diterangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan akan diketahui oleh ummahatul mukminin, padahal masalah ini termasuk yang biasa diriwayatkan oleh manusia. Karena tidak ada nukilan seorang pun dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dilarangnya hal tersebut, maka tidak boleh bagi kita mengharamkannya, padahal diketahui bahwa Beliau tidak melarang yang demikian. Jika Beliau tidak melarang, padahal banyak wanita yang haidh di zaman Beliau, dapatlah diketahui bahwa hal itu tidak haram."

Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, sebaiknya wanita yang haidh tidak membaca Al Qur'an kecuali jika dibutuhkan, misalnya ia sebagai pendidik untuk mengajarkan Al Qur'an kepada wanita lain atau ia sedang ujian, di mana ia butuh untuk membaca Al Qur'an.

  1. Tentang Puasa

Yakni haram bagi wanita haidh melakukan puasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasanya, namun ia wajib mengqadha' puasa wajib tersebut. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ . 

Kami mengalami hal itu, yakni terkena haidh, maka kami diperintahkan mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat." (Muttafaq 'alaih)

Oleh karena itu, jika ia kedatangan haidh ketika sedang puasa, maka puasanya batal, meskipun datangnya menjelang Maghrib, dan ia wajib mengqadha' puasa tersebut. Adapun jika ia hanya merasakan akan haidh saja sebelum Maghrib, namun keluarnya darah itu setelah Maghrib, maka puasanya sempurna dan tidak batal, karena darah tersebut masih dalam perut. Hal ini didasari sebuah hadits, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang wanita yang mimpi sebagaimana laki-laki mimpi, apakah wanita tersebut harus mandi? Maka Beliau bersabda, "Ya, jika ia melihat air (mani)."

Faedah :

Jika wanita haidh sudah suci sebelum Fajar, lalu ia berpuasa, maka puasanya sah meskipun ia belum mandi atau mandinya setelah fajar tiba. Hal ini sebagaimana junub, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati pagi hari dalam keadaan junub karena jima' (di malam hari), lalu Beliau berpuasa Ramadhan.

  1. Tentang Thawaf

Demikian pula bagi wanita haidh diharamkan melakukan thawaf. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu 'anha,

اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى » . 

"Kerjakanlah apa yang dilakukan orang yang haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Baitullah sampai kamu suci." (HR. Muslim)

Adapun pekerjaan haji atau umrah lainnya seperti bersa'i, wuquf di 'Arafah, mabit di Muzdalifah dan di Mina, melempar jamrah, dan sebagainya, maka tidak haram baginya.

  1. Gugurnya Thawaf Wada' bagi Wanita Haidh

Jika seorang wanita telah melakukan manasik hajji dan umrah, lalu ia mengalami haidh sebelum keluar menuju negerinya, dan haidh itu berlangsung terus sampai waktu ia hendak berangkat, maka dipersilahkan baginya berangkat tanpa melakukan thawaf wada'. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ . 

"Manusia diperintahkan agar tugas terakhirnya adalah thawaf di Baitullah, hanya saja diberikan keringanan bagi wanita haidh (untuk tidak melakukannya)." (Muttafaq 'alaih)

Adapun thawaf haji dan umrah, maka tidak gugur kewajibannya, bahkan ia harus thawaf setelah suci.

Faedah :

Tidak dianjurkan bagi wanita haidh saat hendak berpisah mendatangi pintu masjidil haram dan berdoa, karena hal itu tidak ada keterangannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

  1. Berdiam di Masjid

Yakni haram bagi wanita haidh berdiam di masjid, bahkan lapangan tempat shalat Ied. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah, di mana di sana dijelaskan,

يَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى

"Hendaknya wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat."

  1. Berjima'

Yakni bagi suami diharamkan menjima'i istrinya yang haidh. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci." (QS. Al Baqarah: 222)

Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

"Kerjakanlah segala sesuatu selain nikah." (HR. Muslim)

Yakni selain jima'.

Dan dihalalkan selain itu, seperti mencium, memeluk dan bersentuhan kulit, jika bukan di farj. Hanya saja yang lebih utama adalah tidak bersentuhan kulit antara pusar dan lututnya kecuali di balik penghalang berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha:

كَانَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِى فَأَتَّزِرُ ، فَيُبَاشِرُنِى وَأَنَا حَائِضٌ . 

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhku memakai kain, lalu Beliau bersentuhan kulit denganku saat aku haidh." (Muttafaq 'alaih)

  1. Tentang Talak

Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya saat haidh. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

"Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." (QS. Ath Thalaq: 1)

Secara wajar di sini adalah agar ia dapat menjalani masa 'iddah, dan hal itu (secara wajar) tidak terjadi kecuali ketika si wanita sedang hamil atau dalam keadaan suci sebelum dijima'i. Hal itu, karena jika si wanita ditalak saat sedang haidh, ia tidak siap melakukan 'iddah, karena haidh saat ia ditalak tidak dihitung sekali iddah. Sedangkan jika si wanita ditalak saat ia suci namun sudah dijima'i, maka 'iddahnya belum jelas karena tidak diketahui apakah si wanita akan hamil dari jima' tersebut atau tidak sehingga ia menjalani iddah wanita hamil (jika hamil), atau menjalani 'iddah haidh jika tidak hamil.

Di dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma disebutkan, bahwa ia (Ibnu Umar) pernah mentalak isterinya saat sedang haidh, maka Umar memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau pun marah dan bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

"Perintahlah dia merujuk istrinya dan menahannya sampai suci, lalu haidh, kemudian suci, lalu jika ia mau ia bisa menahannya, dan jika mau ia bisa mentalaknya sebelum dijima'i. itulah iddah yang diperintahkan Allah jika mentalak wanita." (HR. Bukhari dan Muslim)[i]

Faedah :

Dikecualikan dari keharaman talak pada saat haidh tiga keadaan berikut:

Pertama, talaq dilakukan sebelum berkhalwat atau sebelum menjamahnya, maka tidak mengapa mentalaknya ketika isteri sedang haidh, karena ketika itu ia tidak menjalani 'iddah. Oleh karena itu, mentalaknya tidak menyalahi ayat "Fa thalliquuhunna li'iddatihinna," (QS. Ath Thalaq: 1)

Kedua, jika haidhnya terjadi ketika hamil (jika memang terjadi).

Ketiga, jika talaknya dengan adanya 'iwadh (ganti), maka tidak mengapa mentalaknya ketika haidh. Contoh: terjadi pertengkaran antara kedua suami dan istri dan hubungan yang tidak baik, lalu suami mengambil 'iwadh untuk mentalaknya. Maka dalam hal ini, diperbolehkan mentalak meskipun sedang haidh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ جَاءَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنِّي مَا أَعْتُبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ ، وَلَكِنِّى أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِى الإِسْلاَمِ . فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم :« أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ » . قَالَتْ : نَعَمْ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم :« اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً » .   

Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas pernah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya tidak mencela akhlak maupun agamanya, namun saya tidak ingin berbuat kufur dalam Islam." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Maukah kamu mengembalikan kebunnya?" Ia menjawab, "Ya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (kepada Tsabit bin Qais), "Terimalah kebun itu dan talaklak sekali." (HR. Bukhari)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertanya kepadanya apakah ia sedang haidh atau tidak. Di samping itu, talak seperti ini (khulu') adalah tebusan dari dirinya, maka dibolehkan ketika dibutuhkan dalam keadaan bagaimana pun.

Adapun melakukan akad nikah kepada wanita yang sedang haidh adalah boleh, karena memang hukum asalnya adalah boleh.

  1. Menjalani masa Iddah dengan Haidh

Apabila seorang suami mentalak istrinya setelah dijamah atau setelah berkhalwat dengannya, maka wajib bagi si wanita menjalani masa 'iddah tiga kali haidh (lihat surat Al Baqarah: 228). Quru' di ayat tersebut adalah haidh. Adapun jika dia hamil, maka sampai melahirkan (lihat At Thalaq: 4), namun jika tidak haidh seperti wanita kecil dan wanita yang sudah monopause atau wanita yang menjalani operasi sehingga diangkat rahimnya dan wanita lainnya yang tidak mungkin diharapkan haidh lagi. maka iddahnya tiga bulan (lihat At Thalaq: 4).

Faedah :

Jika seseorang berhenti haidh karena sebab tertentu, misalnya karena sakit atau menyusui, maka ia dianggap masih menjalani masa iddah meskipun lama, sampai haidhnya kembali normal, sehingga ia pun menjalani iddah dengannya. Jika sebabnya sudah hilang, misalnya sudah sembuh atau sudah selesai menyusui, ternyata haidhnya tidak kunjung datang, maka ia menjalani masa 'iddah selama setahun penuh dari sejak hilangnya sebab tesebut. Inilah pendapat yang shahih. Hal itu, karena apabila sebabnya hilang dan haidhnya ternyata tidak datang, maka ia seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Jika haidhnya terhenti karena sebab yang tidak jelas, maka si wanita menjalani masa iddah selama setahun. Sembilan bulan sebagai sikap hati-hati khawatir ternyata ia hamil dan tiga bulan untuk iddah.

Adapun jika talak terjadi setelah akad sedangkan sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka tidak ada iddah sama sekali, baik iddah dengan haidh maupun iddah dengan lainnya berdasarkan surat Al Ahzab: 49.

  1. Dengan Haidh Rahim dianggap kosong

Yakni keputusan bahwa rahim kosong dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seorang mati dan meninggalkan wanita (istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haidh.

  1. Wajibnya Mandi

Wanita haidh jika telah suci, wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلِّى.

"Apabila kamu kedatangan haidh maka tinggalkan shalat, dan jika telah suci, maka mandilah dan kerjakan shalat". (HR. Al-Bukhari)

Kewajiban minimal dalam mandi yaitu mebersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, Beliau bersabda,

« تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ . ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا » . فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا » . فَقَالَتْ عَائِشَةُ لهَاَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ .

"Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air di bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya." Asma bertanya, "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab, "Subhanallah, ya bersuci dengannya". Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata, "Ikutilah bekas-bekas darah." (HR. Muslim)

Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini berdasarkan pada hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ  ؟وفي رواية للحيضة والجنابة ؟فَقَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ » . 

"Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi jinabat?" Menurut riwayat lain, “Untuk (mandi) haid dan jinabat?' Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. 'Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman, lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamu pun menjadi suci". (HR. Muslim)

Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayamum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.

Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, alasannya, "Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi  hal ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

 

[i] Dalam hadits ini menunjukkan bahwa talak dilakukannya setelah suci kedua, namun yang lain berpendapat boleh juga pada suci yang pertama setelah haidnya dan bahwa talak pada saat suci yang kedua adalah sunat,  alasannya adalah berdasarkan sebuah hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ ليُطَلِّقْهَا طَاهِراً أَوْ حَامِلاً

"Suruhlah dia untuk merujuknya, kemudian talaknya saat ia sedang suci atau hamil."