بسم الله الرحمن الرحيم

Risalah Puasa Ramadhan (2)

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut risalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz (mufti Saudi Arabia yang wafat pada tahun 1420 H/1999 M) berkenaan dengan fiqih seputar puasa Ramadhan dengan judul Shiyam Ramadhan, Fadhluhu ma’a Bayan Ahkam Muhimmah Takhfa ‘Ala Ba’dhin Naas. Semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Fiqih Puasa Ramadhan

Bagi seorang muslim wajib memelihara puasa dan qiyamullailnya dengan menjauhkan diri dari apa yang diharamkan Allah kepadanya baik berupa ucapan maupun perbuatan, karena tujuan dari puasa adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuliakan semua yang dimuliakan-Nya, berjihad melawan nafsunya demi menaati Tuhannya, dan membiasakannya bersabar dari apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, serta semua yang membatalkan lainnya. Oleh karena itu, telah shahih riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa adalah perisai. Jika salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor, berteriak-teriak, dan jika ada seorang yang mencaci-makinya atau mengajaknya berperang, maka katakanlah, “Saya sedang puasa.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i].

Telah shahih pula dari Beliau, bahwa Beliau bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang yang tidak berhenti dari berkata dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makanan dan minumannya.” [HR. Bukhari]

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, maka jelaslah bahwa orang yang berpuasa harus berhati-hati dari melakukan perbuatan yang diharamkan Allah, menjaga apa yang diwajibkan Allah, sehingga diharapkan ia akan memperoleh ampunan, pembebasan dari neraka, diterima puasa dan qiyamullailnya.

Ada beberapa perkara yang masih samar bagi sebagian orang yang perlu disampaikan, yaitu:

  1. Seorang muslim harus berpuasa karena iman dan mengharap pahala, bukan karena riya dan sum’ah, dan bukan karena ikut-ikutan dengan orang-orang, atau mengikuti keluarganya, atau lingkungannya, bahkan seharusnya yang mendorongnya berpuasa adalah keimanannya, bahwa Allah telah mewajibkan puasa itu, dan ia pun mengharapkan pahala di sisi Tuhannya. Demikian pula qiyam Ramadhan (shalat tarawih) yang dilakukannya hendaknya karena iman dan mengharapkan pahala, bukan karena sebab yang lain. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Barang siapa yang melakukan qiyamullail pada malam Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Telah lewat takhrijnya]
  2. Terkadang orang yang berpuasa terkena luka, mimisan, muntah, kemasukan air atau bensin ke mulutnya tanpa sengaja, maka hal ini tidak merusak puasanya, tetapi jika sengaja muntah, maka akan batal puasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ

“Barang siapa yang didesak oleh muntah, maka tidak perlu mengqadha, tetapi barang siapa yang sengaja muntah, maka ia harus mengqadha.” [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani]

  1. Terkadang orang yang berpuasa menunda mandi janabat sampai terbit fajar, atau sebagian wanita menunda mandi dari haidh atau nifas hingga terbit fajar. Jika ia melihat dirinya telah suci sebelum fajar, maka ia wajib berpuasa, dan tidak mengapa menunda mandinya setelah terbit fajar, tetapi tidak boleh menundanya sampai terbit matahari. Seorang wanita harus mandi dan shalat Subuh sebelum terbit matahari. Demikian pula orang yang junub, ia tidak boleh menunda mandi setelah terbit matahari, bahkan ia harus mandi dan shalat Subuh sebelum terbit matahari, dan bagi laki-laki harus segera melakukannya agar dapat shalat Subuh berjamaah.
  2. Tidak membatalkan puasa memeriksa (cek) darah dan menusukkan jarum ke kulit yang maksudnya bukan sebagai gizi makanan baginya. Akan tetapi menundanya di malam hari lebih utama dan lebih hati-hati baginya jika mudah hal itu baginya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada hal yang tidak meragukanmu.” [HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya]

مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ

“Barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membebaskan agama dan kehormatannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

  1. Termasuk perkara yang masih samar bagi sebagian orang adalah masalah thuma’ninah dalam shalat, baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunah. Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan, bahwa thuma’ninah termasuk rukun shalat, dimana shalat tidak akan sah tanpanya. Thuma’ninah artinya tenang dalam shalat, khusyu di dalamnya, dan tidak tergesa-gesa sampai tulang-tulang punggung kembali ke tempatnya semula. Banyak yang melakukan shalat Tarawih di bulan Ramadhan tanpa mengetahui masalah thuma’ninah, sehingga ia tidak melakukan thuma’ninah di dalamnya dan melakukannya secara terburu-buru. Shalat seperti ini batal dan pelakunya berdosa; tidak mendapatkan pahala.
  2. Termasuk masalah yang masih samar hukumnya bagi sebagian orang adalah anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih tidak boleh kurang dari dua puluh rakaat, atau anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih tidak boleh lebih dari sebelas atau tiga belas rakaat. Ini semua adalah anggapan yang bukan pada tempatnya, bahkan keliru dan menyelisihi dalil.

Hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan, bahwa shalat malam diberikan keleluasaan di dalamnya, tidak ada batasan yang tidak boleh diselisihi; bahkan telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau pernah shalat malam sebanyak sebelas rakaat, terkadang shalat tiga belas rakaat, terkadang kurang dari itu, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Dan saat Beliau ditanya tentang shalat malam, maka Beliau bersabda,

مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang di antara kamu khawatir tiba waktu Subuh, maka ia shalat satu rakaat, sebagai witir shalatnya itu.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Beliau tidak menentukan jumlah tertentu, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Oleh karena itu, para sahabat di zaman Umar terkadang shalat dua puluh tiga rakaat, dan terkadang sebelas rakaat, semuanya berdasarkan riwayat Umar dan para sahabat di zamannya.

Sebagian kaum salaf ada yang melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan sebanyak tiga puluh enam rakaat dan berwitir tiga rakaat, sedangkan yang lain melakukan empat puluh satu rakaat. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya dari kalangan Ahli Ilmu, sebagaimana beliau juga menyampaikan, bahwa dalam hal tersebut ada keleluasaan. Beliau juga menyebutkan, bahwa yang yang lebih utama bagi yang memanjangkan bacaan (Al Qur’an), ruku, dan sujud untuk mengurangi jumlahnya, sedangkan bagi orang yang meringankan bacaan (Al Qur’an), ruku, dan sujud untuk menambah jumlahnya, demikianlah penjelasan Beliau rahimahullah.

Bagi orang yang memperhatikan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan tahu, bahwa yang utama dalam masalah ini adalah melakukan sebanyak sebelas rakaat atau tiga belas rakaat baik di bulan Ramadhan atau selainnya, karena hal itu sejalan dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian besar keadaannya, di samping hal itu lebih meringankan orang-orang yang ikut shalat, lebih dekat kepada kekhusyuan dan thuma’ninah, tetapi bagi yang menambahkan, maka tidak mengapa dan tidak makruh sebagaimana telah diterangkan.

  1. Bagi semua kaum muslimin disyariatkan sungguh-sungguh melakukan berbagai ibadah pada bulan yang mulia ini, seperti shalat sunah, membaca Al Qur’an dengan mentadabburi dan merenungi maknanya, memperbanyak tasbih (ucapan Subhanallah), tahlil (ucapan Laailaahaillallah), tahmid (ucapan Alhamdulillah), takbir (ucapan Allahu akbar), istigfar, berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, berdakwah kepada Allah, berbagi kepada kaum fakir-miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, memuliakan tetangga, menjenguk orang sakit, dan melakukan perbuatan baik lainnya. Hal ini berdasarkan riwayat sebelumnya, yaitu, Allah memperhatikan sikap berlomba-lomba kalian dalam kebaikan, lalu Dia berbangga dengan kalian di hadapan malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan kalian, karena sesungguhnya orang yang sengsara adalah orang yang terhalangi dari rahmat Allah di bulan itu.” [Hadits ini dinyatakan maudhu (palsu) oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib no. 592].

Dan berdasarkan riwayat yang menyebutkan, “Barang siapa yang mendekatkan diri pada bulan itu dengan salah satu perbuatan baik, maka seperti mengerjakan kewajiban pada bulan lainnya, dan barang siapa yang mengerjakan kewajiban pada bulan itu, maka seperti mengerjakan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya.” [Hadits ini didhaifkan dan dinyatakan munkar oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if At Targhib no. 589 dan Silsilah Adh Dha’ifah no. 871].

Demikian juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

“Berumrah pada bulan Ramadhan seperti menunaikan ibadah haji atau berhaji bersamaku.” [HR. Bukhari]

Hadits-hadits dan atsar yang menunjukkan disyariatkan bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan yang mulia ini  begitu banyak.

Kepada Allah kami meminta agar memberikan taufik kepada kami dan seluruh kaum muslimin untuk melakukan perbuatan yang mendatangkan keridhaan-Nya, menerima puasa dan qiyamullail kita, memperbaiki keadaan kita, dan menjauhkan kita dari godaan-godaan yang menyesatkan, sebagaimana kita juga meminta-Nya agar Dia memperbaiki para pemimpin kaum muslimin, menyatukan mereka di atas kebenaran, sesungguhnya Dia yang berkuasa melakukan semua itu. Wassalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Penerjemah dan pemberi keterangan takhrij hadits dengan tanda kurung siku  “ [ ] “oleh Marwan bin Musa