بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini lanjutan pembahasan tentang I'tikaf dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Perbuatan yang perlu dilakukan oleh Orang yang I'tikaf

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Tujuan I'tikaf adalah memutuskan pergaulan dengan manusia untuk fokus melaksanakan ketaatan kepada Allah di salah satu masjid-Nya untuk mencari karunia-Nya, pahala-Nya, dan untuk mendapatkan Lailatul Qadr. Oleh karena itu, sepatutnya bagi orang yang beri'tikaf menyibukkan diri dengan berdzikr, membaca Al-Qur'an, melakukan shalat, dan beribadah lainnya. Serta menjauhi segala yang tidak berguna baginya seperti obrolan tentang dunia. Namun tidak mengapa obrolan sejenak dengan obrolan yang mubah, baik dengan keluarganya maupun lainnya, berdasatkan hadits Shafiyyah radhiyallahu 'anha…dst."

Penyusun Fiqhussunnah berkata, "Dianjurkan bagi orang yang I'tikaf memperbanyak ibadah sunat dan menyibukkan dirinya dengan shalat, membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laailaahaillallah), bertakbir, beristighfar, mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdoa, dan ketaatan lainnya yang mendekatkan seseorang dengan Allah Ta'ala  dan menghubungkannya dengan Penciptanya (Allah Ta'ala). Termasuk pula mempelajari ilmu, mempelajari kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca sirah para nabi dan orang-orang saleh, serta buku-buku fiqh atau buku-buku agama yang lainnya. Dan dianjurkan baginya membuat tenda di dalam masjid mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan makruh baginya menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang tidak berguna baginya baik berupa ucapan maupun amalan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Busrah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

"Termasuk tanda baiknya Islam seseorang adalah ketika meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya."

Dan makruh baginya berdiam dengan tidak berbicara karena mengira bahwa itu merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Imam Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang yang tetap berdiri, maka Beliau menanyakan keadaannya, lalu orang-orang memberitahukan, bahwa dia adalah Abu Israil, ia bernadzar untuk tetap berdiri dan tidak akan duduk, serta tidak akan berbicara dan akan tetap puasa." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ، وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

"Suruhlah dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan tetap melanjutkan puasanya."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ، وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ

"Tidak ada yatim setelah baligh, dan tidak boleh tetap diam (tidak bicara) sehari-semalam." (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Perbuatan yang boleh dilakukan bagi Orang yang I'tikaf

Diperbolehkan bagi orang yang I'tikaf untuk melakukan perbuatan di bawah ini, yaitu:

      1. Keluar untuk keperluan yang mendesak, dan mengeluarkan kepala dari masjid untuk dibasuh dan disisir, atau dicukur rambutnya. Demikian pula dibolehkan baginya menggunting kuku, membersihkan dan mewangikan badannya, serta memakai pakaian yang bagus.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ»

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila beri'tikaf  mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya, dan Beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena ada keperluan manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)

Termasuk keperluan mendesak adalah makan dan minum jika tidak ada yang membawakannya, keluar untuk buang air, muntah, hendak berwudhu dan mandi.

Ibnul Mundzir berkata, "Para ulama sepakat, bahwa orang yang I'tikaf berhak keluar dari tempat I'tikafnya untuk buang air besar dan buang air kecil, karena ini termasuk hal yang tidak dapat tidak harus dilakukan."

      2. Bagi orang yang beri'tikaf diperbolehkan untuk makan, minum, dan tidur di masjid, tentunya sambil menjaga kebersihan dan kerapihan masjid.

      3. Melakukan wudhu di masjid. Hal ini berdasarkan perkataan seseorang yang melayani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berwudhu dengan ringan di masjid (HR. Baihaqi dengan sanad jayyid, dan Ahmad dengan sanad yang shahih).

      4. Membuat kemah kecil di pojok masjid.

Aisyah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, lalu aku menyiapkan tenda untuknya, kemudian Beliau shalat Subuh, lalu masuk ke tempat I'tikafnya. Maka Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat tenda, lalu Aisyah mengizinkan, dan Hafshah pun membuat tenda. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, maka ia membuat tenda lagi. Pada pagi harinya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat beberapa tenda, lalu bersabda, "Apa ini?" Lalu diberitahukan kepada Beliau, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apakah kebajikan yang kalian inginkan?" Maka Beliau meninggalkan I'tikaf pada bulan itu, kemudian beri'tikaf pada sepuluh hari bulan Syawwal." (HR. Bukhari)

Menurut Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, bahwa Beliau khawatir maksud mereka melakukan hal itu adalah karena cemburu dan ingin dekat dengan Beliau, atau karena ketika istri-istrinya berkumpul di dekatnya, maka seakan-akan Beliau sedang berada di rumahnya, dimana bisa saja Beliau disibukkan dari fokus  beribadah karena hal itu sehingga tujuan I'tikaf hilang.

Dalam hadits di atas juga terdapat dalil, bahwa seorang suami berhak mencegah istrinya I'tikaf ketika tidak diizinkannya. Dan inilah pendapat yang dipegang mayoritas ulama. Namun mereka berselisih, jika seorang suami sebelumnya telah mengizinkan, apakah boleh baginya mencegahnya setelah izinnya? Menurut Imam Syafi'i, Ahmad, dan Dawud, bahwa suami berhak mencegahnya dan mengeluarkannya dari I'tikaf yang sunat.

      5. Membawa kasur atau bantal.

      6. Dibolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I'tikaf, dan dibolehkan bagi suaminya mengantarnya sampai ke pintu masjid.

Shafiyyah radhiyallahu 'anha mengatakan, bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjenguknya ketika Beliau sedang beri'tikaf di masjid pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Kemudian Shafiyyah bangun untuk pulang, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bangun bersamanya; sehingga ketika Beliau telah sampai di dekat pintu masjid; dekat pintu Ummu Salamah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada dua orang Anshar yang lewat, lalu mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian pergi, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pelan-pelanlah kamu berdua!"Lalu keduanya berkata, "Subhaanallah, wahai Rasulullah," dan mereka merasa berat karena perkataan itu. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنَ الإِنْسَانِ مَبْلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا

 "Sesungguhnya setan masuk melalui peredaran darah. Saya khawatir jika ia memasukkan sesuatu ke dalam hatimu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Istri juga boleh beri'tikaf dengan suaminya atau ber'itkaf sendiri. Hal ini berdasarkan kata-kata Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ada seorang wanita yang terkena darah istihadhah beri'tikaf bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa wanita itu adalah Ummu salamah), ia (wanita ini) kadang melihat warna merah dan kuning (darah), dan terkadang kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia shalat." (HR. Bukhari)

Faedah :

Bagi orang yang I'tikaf diperbolehkan melakukan azan di menara jika pintunya di masjid atau di dalam masjid. Ia juga boleh menaiki atap masjid, karena masih menjadi bagian masjid. Tetapi jika pintu menara di luar masjid, maka batal I'tikafnya jika ia sengaja melakukannya. Dan serambi atau halaman masjid termasuk masjid menurut ulama madzhab Hanafi, Syafi'i, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Namun menurut Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa halaman tidak termasuk daripadanya. Oleh karena itu, orang yang I'tikaf tidak boleh keluar kepadanya (dari kitab Fiqhus sunnah bagian I'tikaf).

Perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh Orang yang I'tikaf

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, "Dan bagi orang yang I'tikaf diharamkan melakukan jima' dan pendahulunya seperti mencium dan menyentuh (istri) dengan disertai syahwat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (Terj. QS. Al-Baqarah: 187)."

Dan I'tikaf menjadi batal karena beberapa perkara berikut:

      1. Memutuskan niat I'tikaf.

      2. Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan.

      3. Berjima'.

Ibnu Abbas berkata, "Jika orang yang beri'tikaf melakukan jima', maka batal I'tikafnya dan ia memulai kembali." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih).

Namun tidak mengapa menyentuh istri tanpa disertai syahwat, karena istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyisir rambut Beliau ketika Beliau I'tikaf. Adapun mencium dan menyentuh istri dengan syahwat, maka menurut Abu Hanifah dan Ahmad, bahwa orang itu telah berbuat buruk karena telah mengerjakan perkara yang haram baginya, namun I'tikafnya tidak batal kecuali jika turun maninya. Adapun Imam Malik, maka ia berpendapat, bahwa yang demikian membuat batal I'tikafnya, karena hal itu merupakan mubasyarah (bersentuhan kulit) yang haram sehingga batal sebagaimana ketika keluar maninya.

Dalam Al Fiqhul Muyassar disebutkan, bahwa termasuk ke dalam hukum jima' (sehingga membuat batal I'tikaf) adalah mengeluarkan mani dengan syahwat, seperti melakukan onani dan berhubungan badan pada selain farji.

      4. Hilang akal.

      5. Haidh dan nifas.

      6. Murtad.

Mengqadha' I'tikaf

Barang siapa yang sudah masuk beri'tikaf sunat, lalu ia memutuskannya, maka dianjurkan mengqadhanya. Ada yang mengatakan, bahwa ia wajib mengqadha.

Imam Tirmidzi berkata, "Ahli ilmu berbeda pendapat tentang orang yang I'tikaf ketika memutuskan I'tikafnya sebelum menyempurnakan apa yang diniatkannya."

Imam Malik berpendapat, bahwa apabila ia menyudahi I'tikafnya, maka ia harus mengqadha'. Mereka beralasan dengan hadits yang menerangkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari I'tikafnya, lalu beri'tikaf lagi pada sepuluh hari bulan Syawwal.

Imam Syafi'i berkata, "Jika ia tidak bernadzar I'tikaf, atau mewajibkan sesuatu kepada dirinya dan I'tikafnya sunat, lalu ia keluar (dari I'tikafnya), maka tidak mesti mengqadha, kecuali jika ia ingin mengqadhanya atas dasar pilihannya sendiri.

Bernadzar untuk I'tikaf

Adapun orang yang bernadzar untuk I'tikaf sehari atau beberapa hari, lalu ia mulai mengerjakannya kemudiian membatalkannya, maka ia harus mengqadhanya ketika mampu berdasarkan kesepakatan para imam. Jika ia meninggal dunia sebelum mengqadhanya, maka tidak perlu diqadhakan.

Tetapi menurut Imam Ahmad, bahwa walinya yang mengqadhakannya. Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abdul Karim bin Umayyah, ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Abdullah bin Utbah berkata, "Sesungguhnya ibu kami meninggal dan ia punya kewajiban I'tikaf, lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas, maka ia (Ibnu Abbas) menjawab, "Beri'tikaflah untuknya dan berpuasalah."

Sa'id bin Manshur meriwayatkan, bahwa Aisyah pernah beri'tikaf untuk saudaranya yang wafat.

Bernadzar untuk I'tikaf di Masjid tertentu

Barang siapa yang bernadzar untuk I'tikaf di salah satu dari tiga masjid utama (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha), maka ia wajib memenuhi nadzarnya. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

"Tidak dilakukan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid; Masjidiharam, Masjid Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun apabila seseorang bernadzar I'tikaf di selain tiga masjid ini, maka tidak wajib beri'tikaf pada masjid yang ia tentukan, dan ia bisa beri'tikaf di masjid yang ia inginkan, karena Allah Ta'ala tidak menjadikan tempat tertentu untuk beribadah kepada-Nya, dan karena tidak ada keutamaan bagi suatu masjid di atas masjid-masjid yang lain kecuali tiga masjid tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَامَ ، وَ صَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةٍ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا بِمِائَةِ صَلاَةٍ

"Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid selainnya kecuali Masjidilharam, dan shalat di Masjidilharam lebih utama dari shalat di masjidku dengan seratus kali." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3841)

Tetapi jika seseorang bernadzar untuk I'tikaf di Masjid Nabawi, maka boleh baginya beri'tikaf di Masjidilharam, karena Masjidilharam lebih utama daripadanya.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Maktabah Syamilah, Nailul Awthar (Imam Syaukani), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Risalah Qiyam Ramadhan (Syaikh Al Albani), Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin), Risalah I'tikaf (dikumpulkan oleh Ust. Mas'ud Mahmud, Lc).