بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurahkepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan shalat Tarawih atau Qiyam Ramadhan, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Shalat Tarawih

Qiyam Ramadhan atau shalat Tarawih adalah sunnah baik bagi laki-laki maupun wanita[i], yang dilakukan setelah shalat Isya.

Sebelum witir melakukan shalat dua rakaat-dua rakaat, dan boleh juga dua rakaat itu dilakukan setelah shalat witir akan tetapi kurang utama.

Waktu Qiyam Ramadhan berlangsung hingga akhir malam.

Jamaah Ahli Hadits meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan melakukan qiyam Ramadhan, namun tidak mewajibkan, Beliau bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahalanya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Jamaah Ahli Hadits selain Tirmidzi juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat (malam) di masjid, lalu orang-orang mengikuti shalat Beliau. Pada malam berikutnya Beliau shalat malam juga, dan semakin banyak orang-orang yang mengikuti Beliau, lalu pada malam ketiga orang-orang berkumpul di masjid, namun Beliau tidak keluar menemui mereka. Ketika tiba pagi harinya, Beliau bersabda,

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

“Aku telah melihat perbuatan yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian melainkan karena aku khawatir shalat itu akan diwajibkan kepada kalian.”

Hal ini terjadi pada bulan Ramadhan.

Jumlah Rakaatnya

Jamaah Ahli Hadits meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambah pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya melebihi sebelas rakaat

Abu Ya’la dan Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang hasan, bahwa Ubay bin Ka’ab pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya semalam ada sesuatu –yakni masih di bulan Ramadhan-. Beliau bersabda, “Apa itu wahai Ubay?” Ia menjawab, “Ada beberapa kaum wanita ke rumahku dan berkata, “Sesungguhnya kami tidak hapal Al-Qur’an, bolehkah kami shalat di belakangmu?” Lalu aku shalat mengimami mereka sebanyak delapan rakaat dan aku berwitir. Saat itu, Beliau menunjukkan keridhaan dan tidak berkata apa-apa.”

Demikianlah riwayat yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak sah riwayat selain itu. Namun ada riwayat, bahwa sebagian orang di zaman Umar, Utsman, dan Ali melakukan shalat dua puluh rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha dari kalangan madzhab Hanafi dan Hanbali, serta Dawud. Tirmidzi berkata, “Kebanyakan Ahli Ilmu berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan lainnya dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa qiyam Ramadhan itu dua puluh rakaat. Ini merupakan pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, dan Syafi’i. Imam Syafi’i berkata, “Demikianlah yang kami dapatkan di negeri kami di Mekah, orang-orang shalat sebanyak dua puluh rakaat.”

Az Zarqani berkata, “Ibnu Hibban menyebutkan, bahwa shalat tarawih pada awalnya sebelas rakaat. Para imam memperpanjang bacaannya, namun membuat para makmum terasa berat, mereka pun meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat, sehingga mereka melakukan shalat dua puluh rakaat tidak genap dan ganjil dengan bacaan yang sedang, lalu mereka meringankan bacaan lagi dan menjadikan jumlah rakaatnya tiga puluh enam tidak genap dan ganjil, selanjutnya hal tersebut yang tetap dilakukan.”

Sebagian ulama berpendapat, bahwa yang disunahkan adalah sebelas rakaat berikut witir, selebihnya adalah disukai, wallahu a’lam.

Menurut Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, bahwa dirinya belum mendapatkan seorang pun yang meriwayatkan pelaksanaan shalat tarawih dua puluh rakaat dari Utsman walaupun hadits yang dhaif, adapun dari Umar dan Ali, maka ada riwayat dari keduanya dengan sanad yang semuanya ma’lul (ada cacatnya) sebagaimana ia terangkan dalam kitabnya Shalatut Tarawih. Ia juga menjelaskan, bahwa riwayat-riwayat yang datang berkenaan dengan hal tersebut termasuk ke dalam jenis hadits yang satu dengan lainnya tidak dapat menguatkan. Kalau pun ada riwayat yang shahih, maka hal itu karena ada sebab, namun sebab itu telah hilang, karena tidak ada lagi para imam yang memanjangkan bacaan seperti yang dilakukan kaum salaf sampai beralih memendekkan bacaan dan memperbanyak rakaat sebagai ganti memanjangkan bacaan, dan bahwa tidak terjadi ijma terhadap dua puluh rakaat, dan bahwa yang sahih dari Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang paling shahih adalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yaitu yang diriwayatkan oleh Aisyah sebagaimana yang telah disebutkan haditsnya (hanya 11 rakaat). Imam Malik meriwayatkan dalam Al Muwaththa dari As Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dariy untuk mengimami manusia dengan jumlah sebelas rakaat.” As Sa’ib melanjutkan, “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat sehingga kami bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri, dan kami tidak selesai daripadanya kecuali menjelang terbit fajar.” (Lihat Tamamul Minnah tentang Qiyam Ramadhan).

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (22/272-273), “Semuanya boleh dilakukan. Bagaimana pun seseorang melakukan qiyam Ramadhan dengan cara-cara ini, maka ia telah berbuat baik. Yang utama tergantung keadaan orang yang shalat. Jika di antara mereka ada yang siap lama berdiri, lalu ia kerjakan sepuluh rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dirinya pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya, maka itulah yang lebih utama. Tetapi jika mereka tidak siap berdiri lama, maka melakukan shalat Tarawih berjumlah dua puluh rakaat itulah yang lebih utama, dan itulah yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslim, karena hal itu pertengahan antara sepuluh dan empat puluh. Dan jika seseorang melakukan shalat tarawih dengan jumlah empat puluh atau selainnya, maka boleh, dan tidak makruh sama sekali. Hal tersebut telah dinyatakan oleh lebih dari seorang imam, seperti Imam Ahmad dan lainnya. Barang siapa yang mengira, bahwa qiyam Ramadhan dibatasi jumlahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak boleh ditambah maupun dikurangi, maka ia telah keliru.”

Imam Syafi’i lebih memilih seseorang shalat sendiri jika ia seorang qari (hafiz Al Qur’an; seluruhnya atau separuhnya).

Istirahat Antara Shalat Tarawih

Para fuqaha sepakat tentang disyariatkannya istirahat setelah empat rakaat, karena yang demikian diwarisi dari kaum salaf. Mereka memperlama berdiri dalam shalat tarawih dan duduk setelah empat rakaat untuk istirahat. Oleh karenanya shalat ini disebut shalat tarawih.

Menurut Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqhus Sunnah (1/420),bahwa boleh jadi dasar yang dijadikan pegangan dalam masalah ini adalah perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha saat menyebutkan sifat shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan lamanya, kemudian shalat empat rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan lamanya.

Namun di antara istirahat ini tidak ada dzikr tertentu sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang jahil.

Berjamaah Dalam Qiyam Ramadhan

Qiyam Ramadhan atau shalat tarawih boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga dilakukan sendiri. Akan tetapi, pelaksanaannya secara berjamaah di masjid lebih utama menurut jumhur (mayoritas ulama).

Riwayat-riwayat yang disebutkan sebelumnya menunjukkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya melakukan shalat tarawih secara berjamaah dengan para sahabatnya, dan Beliau tidak melanjutkannya karena khawatir hal itu diwajibkan kepada mereka.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan keadaan tetap seperti itu. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhalifahan Umar, sehingga Umar bin Khaththab menyatukan mereka di belakang Ubay bin Ka’ab, lalu ia shalat mengimami mereka pada bulan Ramadhan. Dan hal itu merupakan pertama kalinya manusia berkumpul melakukan shalat tarawih di belakang satu imam pada bulan Ramadhan. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i, dan lain-lain).

Dari Abdurrahman bin Abdul Qadir ia berkata, “Aku pernah keluar bersama Umar bin Khaththab pada bulan Ramadhan ke masjid. Ketika itu manusia berkelompok-kelompok. Ada seseorang yang shalat untuk dirinya sendiri, ada pula seseorang shalat mengimami beberapa orang, lalu Umar berkata, “Menurutku, jika mereka dikumpulkan dengan satu imam, tentu lebih utama.” Kemudian Umar mematangkan niatnya dan mengumpulkan mereka di belakang imam Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam yang lain, aku keluar bersamanya, ketika itu orang-orang shalat di belakang imam mereka, lalu Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah perkara ini, akan tetapi yang tidur dulu –yakni shalat tarawih di akhir malam- lebih utama daripada yang melakukan sekarang.” Ketika itu orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Malik).

Maksud perkataan Umar, bahwa sebaik-baik bid’ah adalah perkara ini, bukanlah bid’ah dalam istilah syariat, tetapi bid’ah secara bahasa, karena semua bid’ah dalam agama adalah dilarang. Adapun perbuatan di atas bukanlah bid’ah secara istilah syariat, disebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya sebelumnya, dan Beliau meninggalkannya karena khawatir hal tersebut diwajibkan atas mereka.

Dan sepatutnya bagi seorang yang shalat di belakang imam untuk menyempurnakan shalat bersamanya sampai selesai, serta tidak berpisah dengannya sebelum selesai. Dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu disebutkan, bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة

 “Sesungguhnya orang yang melakukan shalat bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Jika imam berwitir di akhir shalatnya, maka ia ikut berwitir bersamanya, meskipun sebelumnya ia berniat untuk berwitir nanti di akhir malam.

Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Tidak ditentukan dalam As-Sunnah bacaan tertentu ketika shalat tarawih. Seorang imam cukup membaca bacaan yang tidak membuat para jamaah pergi meninggalkannya.

Akan tetapi jika para jamaah sepakat untuk memperlama shalat, maka hal itu tentu lebih utama berdasarkan atsar-atsar yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa kaum salaf membaca dua ratus ayat dan bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri, dan mereka tidak selesai kecuali menjelang Subuh, lalu mereka bersegera sahur karena khawatir tiba waktu Subuh. Ketika itu imam membaca surat Al-Baqarah dalam delapan rakaat, dan jika surat itu dibaca dalam dua belas rakaat, maka hal itu mereka pandang ringan.

Para ulama madzhab Hanafi dan Hanbali menganjurkan, agar dilakukan pengkhataman Al-Qur’an dalam sebulan agar manusia mendengarkan seluruh isi Al-Qur’an dalam shalat tersebut.

Ibnu Qudamah berkata, “Ahmad berkata, “Hendaknya imam membaca ayat pada bulan Ramadhan yang ringan bagi manusia dan tidak membebani mereka. Terutama pada malam-malam yang pendek (seperti malam musim panas).”

Al Qadhiy berkata, “Tidak disukai jika tidak dikhatamkan Al-Qur’an dalam sebulan, yang demikian agar manusia dapat mendengar Al-Qur’an (seluruhnya), dan hendaknya tidak lebih dari itu karena khawatir memberatkan para makmum  yang berada di belakangnya. Melihat keadaan manusia tentu lebih utama, karena jika para jamaah sepakat dilamakan shalatnya, maka hal itu lebih utama sebagaimana yang dikatakan Abu Dzar, “Kami berdiri shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga khawatir kehilangan falah (kemenangan), yaitu makan sahur. Ketika itu, imam membaca dua ratus ayat.”

Wallahu a'lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam, wal hamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Shahih Fiqhis Sunnah (Abu Malik Kamal bin As Sayyid), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab wa Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah),  Maktabah Syamilah versi 3.45, dll. 

 

[i] Dari Arfajah ia berkata, “Ali radhiyallahu ‘anhu memerintahkan melakukan qiyam Ramadhan, dan menjadikan untuk kaum laki-laki seorang imam dan untuk kaum wanita seorang imam. Ketika itu, aku menjadi imam bagi kaum wanita.”