بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini pembahasan mengenai waktu-waktu shalat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.

Waktu-Waktu Shalat

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103)

Waktu-waktu tersebut telah diisyaratkan dalam ayat yang lain,

وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114)

Al Hasan berkata tentang maksud kedua tepi siang, “Yaitu shalat Subuh dan Ashar.” Sedangkan maksud “pada bagian permulaan daripada malam,” adalah shalat Maghrib dan Isya.

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dirikanlah shalat dari setelah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Israa’: 78)

Maksud “setelah matahari tergelincir sampai gelap malam” adalah shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Sedangkan maksud “Qur’anul Fajr” adalah shalat Subuh. Shalat Subuh disebut “qur’anul fajr” (bacaan Al Qur’an di waktu Fajar) karena dianjurkan bacaannya agak panjang, wallahu a’lam. Adapun maksud “disaksikan malaikat” yakni disaksikan oleh para malaikat baik malaikat malam maupun siang.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاء اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى

“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, agar kamu merasa senang,” (QS. Thaahaa: 130)

Maksud bertasbih sebelum terbit matahari adalah shalat Subuh, sedangkan maksud bertasbih sebelum tenggelam adalah shalat Ashar. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahihain dari Jarir bin Abdullah Al Bajalliy, ia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau melihat ke bulan malam purnama, Beliau kemudian bersabda,

«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا»

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian dapat melihat bulan ini, dimana kalian tidak kesulitan melihatnya. Oleh karena itu, jika kalian sanggup terus menjaga shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya, maka lakukanlah.” Selanjutnya Beliau membacakan ayat ini.

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الغُرُوبِ

“Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (QS. Qaaf: 39)

Demikianlah waktu-waktu shalat yang diisyaratkan dalam Al Qur’an. Adapun dalam As Sunnah, maka berikut hadits-haditsnya,

Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ، مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّهَا تَطْلُعْ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ»

“Waktu Zhuhur masuk ketika matahari telah bergeser hingga bayangan seseorang sama dengan panjang orang itu selama belum tiba waktu Ashar. Waktu Ashar sudah masuk selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib sudah masuk selama syafaq (cahaya merah di ufuk langit) belum hilang, waktu shalat Isya terus berlanjut hingga pertengahan malam, sedangkan waktu Subuh dimulai dari terbit fajar selama matahari belum terbit. Ketika matahari terbit, maka tahanlah dari melakukan shalat, karena ia terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Muslim)

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi malaikat Jibril ‘alaihissalam, lalu ia berkata kepada Beliau, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir, lalu malaikat Jibril datang lagi pada waktu Ashar dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Ashar pada saat bayangan sesuatu sama panjang dengan sesuatu itu. Kemudian malaikat Jibril datang lagi pada waktu Maghrib dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat ketika matahari telah tenggelam. Lalu malaikat Jibril datang lagi pada waktu Isya dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Isya pada saat syafaq (warna merah di ufuk langit) telah hilang. Kemudian malaikat Jibril datang lagi pada waktu fajar dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Subuh pada saat fajar telah menyingsing. Keesokan harinya, malaikat Jibril datang lagi di waktu Zhuhur dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Zhuhur pada saat bayang segala sesuatu sama panjang dengan sesuatu itu, lalu malaikat Jibril datang lagi pada waktu Ashar dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Ashar pada saat bayang sesuatu panjangnya dua kali lipat dari sesuatu itu, lalu malaikat Jibril datang lagi pada waktu Maghrib dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Maghrib pada saat yang sama tidak bergeser dari waktunya (yang kemarin), lalu malaikat Jibril datang lagi pada waktu Isya ketika telah hilang separuh malam atau sepertiganya dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Isya. Kemudian malaikat Jibril datang lagi pada waktu pagi begitu terang dan berkata, “Bangunlah, dirikanlah shalat!” Maka Beliau melakukan shalat Subuh. Selanjutnya malaikat Jibril berkata, “Shalat itu waktunya antara dua waktu ini.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi. Imam Bukhari berkata, “Hadits tersebut adalah hadits paling shahih tentang waktu-waktu shalat, yakni hadits tentang pengimaman malaikat Jibril.”)

Waktu Zhuhur

Hadits di atas menunjukkan, bahwa waktu Zhuhur dimulai dari bergesernya matahari dari bagian tengah langit ke arah barat dan terus berlangsung waktunya sampai bayangan seseorang atau benda sama panjang dengan orang atau bendanya. Dan dianjurkan pelaksanaannya di awal waktu kecuali jika kondisi sangat panas sekali, maka dianjurkan ditunda hingga kondisi agak sejuk agar lebih khusyu melakukannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

«إِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ»

“Jika suasana sangat panas, maka tundalah shalat hingga suasananya sejuk, karena kondisi yang sangat panas tersebut berasal dari luapan neraka Jahannam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika suasana sangat dingin, maka Beliau menyegerakan shalat, dan ketika suasana sangat panas, maka Beliau tunda shalat.”

Maksud “ibrad” (menunda ketika panas hingga sejuk) ada beberapa pendapat ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa maksudnya menunda hingga bayangan sehasta setelah tiba bayangan zawal (matahari tergelincir). Ada yang berpendapat, maksudnya ¼ dari postur tubuh. Ada yang berpendapat 1/3 postur tubuh, dan ada yang berpendapat ½ postur tubuh. Namun yang berjalan di atas kaedah adalah bahwa hal itu berbeda-beda sesuai keadaan, namun dengan syarat tidak menunda hingga akhir waktu.

Waktu Ashar

Waktu Ashar dimulai dari habisnya waktu Zhuhur –berakhirnya bayangan seseorang atau benda sama panjang dengan orang atau bendanya- dan terus berlangsung hingga tenggelam matahari, yakni akhir matahari menguning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ»

“Barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia mendapatkana shalat Subuh, dan barang siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari tengelam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan empat orang Ahli Hadits dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Aisyah dan Ibnu Abbas).

Dan dianjurkan dilaksanakan di awal waktu. Shalat Ashar ini disebut juga shalat Wustha sebagaimana yang disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (QS. Al-Baqarah: 238)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada hari perang Ahzab,

«مَلَأَ اللَّهُ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا، شَغَلُونَا عَنِ الصَّلاَةِ الوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ»

“Allah memenuhi rumah dan kubur mereka dengan api, karena mereka membuat kita sibuk sehingga terlambat shalat wustha sampai matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud disebutkan, “Mereka menyibukkan kita (sehingga terlambat) mengerjakan shalat wustha, yaitu shalat Ashar.”)

Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Orang-orang musyrik menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Ashar sehingga matahari menjadi merah dan menguning, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللهُ أَجْوَافَهُمْ، وَقُبُورَهُمْ نَارًا أَوْ قَالَ: «حَشَا اللهُ أَجْوَافَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا»

“Mereka membuat kita sibuk sehingga terlambat shalat wustha; yaitu shalat Ashar. Allah akan memenuhi perut dan kubur mereka dengan api,” atau Beliau bersabda, “Allah akan mengisi perut dan kubur mereka dengan api.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ فَاتَتْهُ الْعَصْرُ، فَكَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»

“Barang siapa yang tertinggal dari melaksanakan shalat Ashar, maka seakan-akan ia kehilangan keluarga dan hartanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

«مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»

“Barang siapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka akan hapus amalnya.” (HR. Bukhari)

Ibnul Qayyim berkata, “Meninggalkan shalat ada dua macam; meninggalkan secara keseluruhan dalam arti tidak melakukan shalat Ashar selamanya, maka hal ini akan menghapuskan semua amalnya, dan ada meninggalkan secara tertentu pada hari tertentu, maka hal ini akan amal pada hari itu.”

Catatan :

Waktu pilihan dan utama pelaksanaan shalat Ashar berakhir sampai matahari menguning. Adapun menunda shalat hingga lewat menguningnya matahari meskipun boleh, namun makruh jika tidak ada udzur. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

«تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ، قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا، لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا»

“Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk memperhatikan matahari; sehingga ketika matahari tengah berada di antara dua tanduk setan, maka ia bangun, lalu shalat empat rakaat dengan cepatnya. Ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (HR. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari dan Ibnu Majah)

Imam Nawawi berkata, “Kawan-kawan kami (yang semadzhab) berkata, “Waktu Ashar itu ada lima waktu, yaitu: (1) waktu utama, (2) waktu pilihan, (3) waktu boleh dan tidak makruh hukumnya, (4) waktu boleh namun makruh, dan (5) waktu udzur. Waktu utama adalah di awal waktunya, waktu pilihan memanjang hingga bayangan sesuatu dua kali lipat dari sesuatu itu, waktu boleh sampai matahari menguning, waktu boleh namun makruh adalah ketika matahari menguning hingga tenggelam matahari, sedangkan waktu udzur adalah waktu Zhuhur bagi orang yang menjama’ antara Ashar dan Zhuhur karena safar atau hujan. Dengan demikian, pelaksanaan shalat Ashar pada waktu yang lima disebut adaa’, dan jika luput semuanya karena tenggelam matahari, maka disebut qadha’.

Bersambung...

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, wa akhiru da’wana anil hamdulillahi Rabbil ’alamin.

Marwan bin Musa

 

Maraji’ : Fiqhussunnah (S. Sabiq), Al Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh, KSA), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.