Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan ‘Fawaid Tentang Ilmu dan Ciri Ilmu Yang Bermanfaat’, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta’rif (definisi) ilmu

Ilmu secara bahasa adalah lawan dari kata jahl (tidak tahu). Ilmu artinya mengetahui sesuatu secara pasti sesuai dengan keadaannya, seperti air itu dingin, api itu panas, dsb.

Ilmu yang disebutkan dalam dalil-dalil syar’i tentang keutamaannya adalah ilmu syar’i (ilmu agama), yaitu ilmu terhadap apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa penjelasan  dan petunjuk. Ilmu syar’i adalah fiqih (memahami) kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ilmu selain ini, bisa sebagai sarana kepada kebaikan dan bisa sebagai sarana keburukan, maka hukumnya tergantung arahnya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, di antara caranya adalah dengan melihat pemahaman kaum salafush shalih, mempelajari ilmu Ushul Fiqih, melihat kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah hadits, bertanya kepada ulama, serta mendalami bahasa Arab, wallahu a’lam.

Sebagian ulama ada yang menerangkan, bahwa arti ilmu adalah ma’rifatul haqqi bidalilih (mengetahui kebenaran dengan dalilnya), ini juga betul, wallahu a’lam.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَأَمَّا مَنْ عَدَلَ عَنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَعَنْ مَعْرِفَةِ الْحَقِّ بِالدَّلِيلِ مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْهُ إلَى التَّقْلِيدِ فَهُوَ كَمَنْ عَدَلَ إلَى الْمَيْتَةِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْمُذَكَّى

“Barang siapa yang berpaling dari Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pendapat para sahabat, serta berpaling dari mengetahui kebenaran berikut dalilnya padahal mampu mencarinya, lalu beralih kepada taqlid (ikut-ikutan), maka ia seperti orang yang mendatangi bangkai padahal mampu mendatangi hewan yang disembelih.” (I’lamul Muwaqqi’in juz 2/185)

Istilah-Istilah dalam ilmu

Ilmu : mengetahui sesuatu secara pasti sesuai dengan keadaannya.

Jahl Basith : sama sekali tidak mengetahui.

Jahl Murakkab : menyatakan mengetahui, tetapi tidak sesuai dengan keadaannya. Seperti menyatakan api itu dingin.

Wahm (persangkaan keliru) : merasa mengetahui sesuatu, tetapi ternyata keliru.

Syak (ragu-ragu) : merasa mengetahui sesuatu, namun dalam hal yang sama merasakan perbedaan.

Zhan (perkiraan kuat) : merasa mengetahui sesuatu, dan pengetahuan selain itu kalah kuat.

Di antara ilmu ada yang dharuri (diketahui dengan mudah tanpa perlu meneliti), dan ada pula yang nazhari (setelah dipelajari dan dikaji). Contoh ilmu dharuri adalah mengetahui batu itu keras, sedangkan contoh ilmu nazhari adalah seperti mengetahui wajibnya niat di hati ketika hendak berwudhu.

Hukum mempelajari ilmu syar’i

Mempelajari ilmu syar’i hukumnya bisa fardhu ain (masing-masing orang), bisa fardhu kifayah (sebagian manusia yang mengetahuinya sudah cukup), dan bisa menjadi sunah.

Menjadi fardhu ain, yaitu mempelajari ilmu tentang mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, dan mengenal agamanya, atau mempelajari ilmu akidah, serta ilmu tentang kewajiban agama yang menuntut diamalkan segera (fiqih ibadah), seperti tatacara wudhu, shalat, dsb.

Menjadi fardhu kifayah, yaitu mempelajari ilmu untuk menunjang agama dan kehidupan di dunia. Yang menunjang agama yakni untuk menjaga dan menegakkan agama, seperti mendalami tafsir Al Qur’an, syarah hadits, fiqih, dsb. Sedangkan yang menunjang kehidupan di dunia misalnya ilmu kedokteran, matematika, dsb.

Menjadi sunah, yaitu pada ilmu yang hukumnya fardhu kifayah, dimana sebagian manusia sudah mengetahui, maka bagi yang lain hukumnya sunah, wallahu a’lam.

Pembagian Ilmu

Ilmu terbagi dua, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.

Allah memuji ilmu yang bermanfaat dalam firman-Nya,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az Zumar: 9)

dan mencela ilmu yang tidak bermanfaat dalam firman-Nya,

وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ

“Mereka mempelajari sesuatu (ilmu sihir) yang membahayakan mereka dan tidak memberikan manfaat.” (Qs. Al Baqarah: 102)

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. Al Jumu’ah: 5)

Maksud ayat ini mereka tidak mengamalkan isinya, di antaranya tidak membenarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ilmu mereka tidak bermanfaat.

Contoh Ilmu yang tidak bermanfaat

Contoh ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu sihir, ilmu nujum/ta’tsir, ilmu kalam (berbicara akidah berdasarkan akal dan filsafat), mendalami masalah takdir, ruh, dan menanyakan masalah yang belum terjadi.

Ciri ilmu yang bermanfaat

Berikut kami sampaikan secara ringkas ciri ilmu yang bermanfaat sebagaimana yang diterangkan Imam Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah dalam kitabnya Fadhlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, bahwa ilmu yang bermanfaat itu mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah, memahami kandungannya, serta memahaminya dengan memperhatikan atsar dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in dalam memahami makna Al Qur’an dan hadits, serta mempelajari masalah halal dan haram, zuhud, kelembutan hati, ilmu, dan lain-lain dari mereka.

Tentunya dalam mempelajari hadits, memilah dulu mana yang shahih dan mana yang dhaif, lalu berusaha memahami maknanya. Barang siapa yang mempelajari itu semua dan mengikhlaskan niatnya karena Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya, maka Allah akan menolongnya, menunjukinya, dan memberinya taufik, serta memahamkannya. Saat itulah ilmu ini mengeluarkan buah khusus, yaitu khasyatullah (rasa takut kepada Allah) sebagaimana firman-Nya,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (Qs. Fathir: 28)

Dirinya pun tunduk menghinakan diri kepada Allah azza wa Jalla, mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya, dan mencintai-Nya. Di samping itu, dirinya puas dengan yang halal dari dunia ini serta merasa cukup dengannya, serta bersikap zuhud terhadap dunia.

Setiap kali ilmunya bertambah, maka bertambah pula ketawadhuan, rasa takut, ketundukan, dan kerendahannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Ilmu tersebut bermanfaat karena di dalamnya dapat mengenalkan kita kepada Allah Azza wa Jalla serta mengenalkan nama-Nya yang indah, sifat-Nya yang tinggi, dan perbuatan yang agung yang dimiliki-Nya, dimana itu semua membuat seseorang mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersabar terhadap cobaan dari-Nya. Demikian pula di dalam ilmu itu seseorang mengetahui mana perkara yang dicintai-Nya dan mana perkara yang dibenci-Nya, baik berupa amalan hati, lisan, maupun anggota badan.

Dengan demikian, ilmu yang bermanfaat ini membuat seorang hamba kenal Rabbnya, merasa nyaman mendekatkan diri kepada-Nya, serta beribadah kepada-Nya seakan-akan melihat-Nya.

Siapa saja yang kehilangan ilmu yang bermanfaat ini, maka ia dirinya bisa jatuh ke dalam 4 perkara yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam berlindung daripadanya, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat sehingga menjadi petaka dan hujjah yang menimpa dirinya, hatinya tidak khusyu, jiwanya tidak puas, dan doanya tidak terkabul karena tidak melaksanakan perintah Allah dan tidak menjauhi larangan-Nya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa,

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْأَرْبَعِ، مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ»

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari 4 perkara; dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, jiwa yang tidak puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (Hr. Abu Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)

Ilmu yang tidak bermanfaat membuat pemiliknya sombong dan mengingikan ketinggian di muka bumi, berbangga di hadapan para ulama, berdebat dengan orang-orang bodoh, ingin mengalihkan perhatian manusia kepadanya, ingin dihargai oleh para pejabat, dianggap baik oleh mereka, serta banyak pengikut, berbangga di hadapan manusia, tidak mau menerima kebenaran apalagi dari orang yang berada di bawahnya, bersikap sombong di hadapan manusia, menganggap dirinya sebagai orang luar biasa sebagaimana kaum Qaramithah dan Bathiniyyah; berbeda dengan kaum salaf yang merasa diri mereka penuh dengan kekurangan baik lahir maupun batin padahal mereka orang-orang mulia dan utama, tetap terus berada di atas kebatilan, dan terkadang mereka merendah diri dengan menyebutkan kekurangan dirinya agar mendapat pujian dari manusia serta dianggap sebagai orang yang tawadhu,  senang dipuji bahkan menginginkannya. 

Sebaliknya pemilik ilmu yang bermanfaat tidak suka suka pujian dan tidak sombong terhadap seorang pun.

Al Hasan berkata,

إِنَّمَا الْفَقِيْهُ الزَّاهِدُ فِي الدُّنْيَا الرَّاغِبُ فِي الْآخِرَةِ الْبَصِيْرُ بِدِيْنِهِ الْمُوَاظِبُ عَلَى عِبَادَةِ رَبِّهِ

“Sesungguhnya Ahli Fiqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, mencintai akhirat, pandangannya tajam terhadap agama, dan rutin beribadah kepada Rabbnya.”

Dalam salah satu riwayat dari beliau, bahwa Ahli Fiqih itu tidak hasad terhadap orang yang berada di atasnya dan tidak merendahkan orang yang berada di bawahnya, serta tidak mengambil upah terhadap ilmu yang Allah ajarkan kepadanya (menjadikannya sebagai mata pencaharian).

Ilmu yang bermanfaat juga membuat pemiliknya lari dari dunia ini, terutama dari ketinggian, ketenaran, dan pujian. Jika dirinya mendapatkan hal itu, maka ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, dia khawatir kalau yang demikian merupakan makar atau istidraj (penundaan azab) sebagaimana Imam Ahmad mengkhawatirkan keadaan dirinya saat namanya menjadi terkenal.

Di antara tanda lain ilmu yang bermanfaat adalah dirinya tidak merasa berilmu, tidak membanggakan diri dengan ilmu itu di hadapan manusia, serta tidak menisbatkan kebodohan kecuali kepada orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka ia berbicara terhadapnya sambil marah karena Allah, bukan karena dirinya, serta tidak bermaksud dirinya ditinggikan.

Adapun orang yang ilmunya tidak bermanfaat, maka tidak ada kesibukannya selain bersikap sombong terhadap ilmunya, menampakkan kelebihan dirinya, menisbatkan kebodohan kepada manusia serta mencela mereka agar dirinya tampak sebagai orang berilmu yang patut disegani.

Orang yang ilmunya bermanfaat juga bersu’uzhzhan (bersangka buruk) terhadap dirinya dan berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepada para ulama sebelumnya (kaum salaf), serta mengetahui keutamaan mereka, dan bahwa dirinya merasa jauh untuk mendekati kadar mereka apalagi setara dengan mereka.

Sebaliknya orang yang ilmunya tidak bermanfaat, saat melihat dirinya memiliki kelebihan terhadap para ulama sebelumnya dalam pernyataan atau ucapannya, lalu ia meremehkan para ulama sebelumnya. Ia tidak mengetahui, bahwa sedikitnya pernyataan dan ucapan para ulama sebelumnya adalah karena wara dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, dimana jika mereka mau berbicara panjang lebar, tentu mereka mampu, dan ia tidak akan sanggup mengimbangi mereka.

Siapa saja yang mengetahui keutamaan kaum salaf, tentu ia akan mengetahui bahwa diamnya mereka dari berbagai pernyataan, dari melakukan bantahan, serta tidak memperpanjang penjelasan melebihi kebutuhan, bukanlah sebagai aib, kebodohan, dan kekurangan ilmu. Akan tetapi sikap mereka didasari rasa wara (berhati-hati) dan takut kepada Allah Azza wa Jalla serta menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat daripada hal yang tidak bermanfaat.

Yang demikian adalah karena ilmu itu bukanlah banyaknya meriwayatkan dan banyaknya pernyataan, akan tetapi ilmu adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati, dimana dengannya seorang hamba mengenali kebenaran, memilah yang hak dan yang batil, serta menerangkan dengan kalimat singkat yang mencapai kepada tujuan.

Bukankah khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam singkat? Beliau ketika menyampaikan kata-kata, jika ada orang yang mau menghitungnya tentu mampu menghitungnya. Beliau juga menyatakan, bahwa di antara penjelasan itu ada yang menjadi sihir sebagai celaan terhadapnya. Oleh karena itu, kita harus tahu, bahwa tidak semua yang banyak berbicara dalam masalah ilmu berarti lebih banyak ilmunya.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada zaman yang para ulamanya banyak, namun para khatib (ahli pidato) sedikit. Tetapi akan datang zaman setelah kalian yang para ulamanya sedikit, namun khatibnya banyak.”

Oleh karena itu, barang siapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, maka hal itu terpuji. Tetapi kebalikannya adalah tercela.

Para ulama salaf terdahulu lebih sedikit bicaranya namun dalam ilmunya. Ilmu mereka adalah ilmu yang bermanfaat; yang terhunjam dalam hati dan mereka ungkapkan sesuai kebutuhan.

Inilah fiqih dan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang paling utama adalah tafsir Al Qur’an, syarah hadits, membicarakan halal dan haram (fiqih) yang diambil dari para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga para imam kaum muslimin.

Sebagian kaum salaf berkata,

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ شَراًّ أَغْلَقَ عَنْهُ بَابَ الْعَمَلِ وَفَتَحَ لَهُ بَابَ الْجَدَلَ

“Apabila Allah hendak menimpakan keburukan kepada seorang hamba, maka Allah tutup pintu amal baginya dan membukakan pintu berdebat.”

Kita meminta kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu, jiwa yang puas, dan doa yang dikabulkan.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Fadhlu Ilmis Salaf Alal Khalaf (Ibnu Rajab Al Hanbali), Kitabul Ilmi (Syaikh Ibnu Utsaimin), Syarh Tsalatsatil Ushul (Syaikh Ibnu Utsaimin), I’lamul Muwaqqi’in (Ibnu Qayyim Al Jauziyyah), Maktabah Syamilah versi 3.44 https://saaid.net/arabic/297.htm dll.